Berbicara
masalah olahraga maka tidak lepas dengan istilah prestasi, dimana prestasi
merupakan hal yang sangat didambakan oleh setiap pelaku olahraga khususnya
pelaku olahraga prestasi. Banyak hal yang telah dilakukan manusia untuk
mencapai prestasi dalam bidang olahraga, di antaranya dengan memanfaatkan
berbagai macam hal yang berhubungan dengan peningkatan prestasi dalam bidang
olahraga, baik itu teknologi, sumber daya manusia, penelitian-penelitian dalam
bidang olahraga dan lain sebagainya.
Di
tengah keadaan bangsa Indonesia yang sedang terfokus dalam berbagai sektor pembangunan, bidang olahraga juga
mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Salah satu hasil pembangunan
olahraga yang sangat didambakan, baik para atlet dan pembinaan maupun para anggota masyarakat secara luas, adalah
terciptanya prestasi puncak atlet Indonesia. Prestasi puncak adalah
kemampuan olahragawan atau anggota kelompok (tim) untuk menciptakan prestasi
maksimal, sehingga dapat lebih banyak berbicara di arena pertandingan olahraga Nasional maupun Internasional.
Berbagai
kalangan mengemukakan pendapat bahwa untuk peningkatan prestasi olahraga
diperlukan perombakan dan perubahan sistem manajemen yang selama ini
dilaksanakan, antara lain masalah lembaga-lembaga dan kurikulum olahraga di
sekolah serta guru dan pelatih yang memerlukan peningkatan keterampilan. Sistem
pembinaan olahragawan secara langsung seperti metode dan strategi latihan,
sarana dan prasarana, masalah gizi dan penerapan berbagai ilmu pengetahuan yang
relevan dengan pembinaan.
Prestasi
atlet tidak didapatkan dari langit tetapi dihasilkan dari latihan yang sistematis, terprogram dan
berkesinambungan. Seorang pelatih memegang peranan penting dalam peningkatan
prestasi atlet. Hal yang perlu diketahui bagi pelatih olahraga sebelum melatih
atlet adalah memahami aspek latihan, beberapa aspek yang perlu mendapatkan
perhatian serta dilatih secara sistematis diantaranya adalah: aspek fisik, aspek
teknik, aspek taktik, aspek mental. Keempat aspek tersebut harus dilatih secara
sistematis dan terencana berdasarkan prinsip-prinsip latihan yang benar.
Pada
dasarnya untuk menjadi pelatih olahraga
prestasi seseorang lebih dulu mempelajari ilmu kepelatihan atau coaching. Ilmu kepelatihan bisa
didapatkan dengan mengikuti pendidikan kepelatihan di Universitas maupun lewat
jalur pendidikan lainnya seperti kursus dan diklat pelatih olahraga.
Tujuan
utama seorang pelatih olahraga prestasi adalah berusaha meningkatkan prestasi
atletnya semaksimal mungkin. Untuk itu pelatih harus selalu meningkatkan
pengetahuan di dalam metodologi melatih dengan cara mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi secara intensif. Berkembang pesatnya teknologi
khususnya internet semakin memudahkan pelatih dalam mengakses informasi dan
pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kepelatihan.
Berdasarkan
urutan di atas, terlihat betapa luas masalah yang menyangkut usaha peningkatan
prestasi tersebut. Tetapi dikemukakan suatu analisis strategi pembinaan
olahraga yang masih jarang, yaitu pendekatan secara psikologis dalam mencapai
prestasi puncak. Peranan kondisi kejiwaan mempunyai pengaruh yang penting dan
menentukan, di dalam usaha olahragawan untuk mencapai prestasi yang
setinggi-tingginya. Misalnya aspek dan peranan motivasi, emosi, frustasi, anxiety (kecemasan), arousal (kegairahan) dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Aspek-aspek tersebut perlu di pelajari dan diterapkan dalam
kegiatan olahraga apabila ingin mencapai prestasi puncak.
Salah
satu masalah yang dapat mempengaruhi keberhasilan atlet dalam penampilannya
adalah aspek emosi yang dialami oleh atlet. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri
individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Tidak
jarang mendengarkan berita-berita yang beredar dalam dunia olahraga tentang aksi
kekerasan antar pemain sepakbola, pemukulan terhadap wasit sehingga insan
olahraga yang seharusnya menjunjung rasa sportifitas yang tinggi harus menerima
sangsi hingga larangan untuk bermain. Sangat disayangkan apabila permasalah itu timbul hanya karena masalah kecil
sehingga menimbulkan emosi yang
meluap-luap dan menghambat olahragawan dalam mencapai prestasi
puncak.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan emosi?
2.
Teori emosi?
3.
Apa pengaruh emosi dalam olahraga?
4.
Bagaimana
pengendalian emosi dalam olahraga?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Emosi
Secara
etimologi (asal kata), emosi berasal dari bahasa Prancis yaitu emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, “excite”, yang berdasarkan kata latin emovere, yang dari kata-kata e-
(variant atau ex-), artinya ‘keluar’
dan movere, artinya ‘bergerak’
(istilah “motivasi” juga berasal dari kata movere).
Dengan demikian, secara etiomologi emosi berarti “bergerak keluar” Sarwono
(2012: 125).
Menurut
Sarwono (2012: 124) pengertian emosi adalah sebagai reaksi penilaian (positif
atau negatif) yang kompleks dari sistem syaraf seseorang terhadap rangsangan
dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi ini menggambarkan bahwa
emosi diawali dengan adanya suatu rangsangan, baik dari luar (benda, manusia,
situasi, cuaca), maupun dalam diri (tekanan darah, kadar gula, lapar, ngantuk,
segar, dan lain-lain), pada indra manusia. Selanjutnya seseorang menafsirkan
persepsi atas rangsang tersebut sebagai suatu hal yang positif (menyenangkan,
menarik) atau negatif (menakutkan, ingin menghindar) yang selanjutnya
diterjemahkan dalam respon-respon fisiologis dan motorik (jantung berdebar,
mulut menganga, bulu roma berdiri, mata memerah, dan sebagainya) dan pada saat
itulah terjadinya emosi.
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas,
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak.
Emosi
adalah reaksi terhadap peristiwa (baik nyata ataupun tidak nyata) yang melibatkan
perubahan organ dan otot seseorang, dialami secara subyektif, diungkapkan
melalui cara-cara seperti perubahan wajah dan kecenderungan tindakan, yang
dapat mengontrol energi dan tindakan berikutnya (Tenenbaum. G & Eklund. R.
C, 2007: 32).
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri
individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai
pikiran, sehingga emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti
meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
Sedangkan
menurut Descrates, emosi
terbagi atas: Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder
(heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson
mengemukakan tiga macam emosi, yaitu: fear
(ketakutan), Rage (kemarahan), Love
(cinta). Daniel Goleman (2002: 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang
tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:
1.
Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.
2.
Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,
Putus asa.
3.
Rasa
takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
Waspada, tidak tenang, ngeri.
4.
Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
bangga
5.
Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,
rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
6.
Terkejut : terkesiap, terkejut.
7.
Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
8.
Malu : malu hati, kesal
Seperti yang
telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak. Sehingga berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk
memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
Menurut Mayer (Goleman, 2002) orang cenderung menganut
gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi, yaitu: sadar diri,
tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka
penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan
hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
emosi
adalah reaksi terhadap suatu peristiwa (baik nyata ataupun tidak nyata) yang mengakibatkan
perubahan organ dan otot seseorang, dialami secara subjektif, diungkapkan
melalui cara-cara seperti perubahan wajah dan tindakan untuk merespon stimulus.
B. Teori-teori Emosi
Ada
dua macam pendapat tentang terjadinya emosi, yaitu pendapat nativistik (emosi adalah bawaan) dan
pendapat empiris (emosi adalah hasil
belajar/pengalaman).
Salah
satu penganut paham nativistik yang
termasuk paling awal mengemukakan teori emosinya adalah Rene Descartes
(1596-1650) dalam Sarwono (2012). Menurut Decrates, sejak lahir manusia enam
emosi dasar yaitu: cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Salah
satu pendapat yang melandasi teori-teori nativistik
adalah bahwa ekspresi emosi pada dasarnya sama saja di antara hewan dan
manusia, anak kecil, maupun orang dewasa (prinsip
universalisme).
Di
sisi lain, golongan empiris sangat mengutamakan hubungan antara jiwa yang
berpusat di otak (khususnya amygdala yang
dipercaya sebagai pusat emosi) dengan rangsangan-rangsangan dari lingkungan
melalui jaringan syaraf pada tubuh manusia, yaitu mulai dari perifer/tepi
(indra) ke pusat, diolah di pusat (otak) dan kembali ke perifer/tepi (motorik,
kelenjar-kelenjar) dalam bentuk reaksi-reaksi tubuh.
Selanjutnya
ada tiga empirik klasik tentang emosi yang didasarkan pada hubungan otak/syaraf
dengan rangsangan dari lingkungan. Pertama adalah Teori Somatik dari William
James dan Carl Lange (akhir abad ke-19), yang kemudian dikritik oleh Cannon
Bard, dan yang termodern adalah Teori kognitif tentang emosi disebut juga
sebagai Teori Singer-Schachter.
William
James pada tahun 1893 dan Carl Lange pada awal abad ke-20 menyajikan pandangan
tentang emosi. Menurut teori James-Lange, sebuah emosi adalah reaksi terhadap
perubahan-perubahan dalam system fisiologi tubuh (Garret, 2005; Feldman, 2003;
Schwartz, 1986) dalam Sarwono (2012). Apabila seseorang melihat seekor beruang,
belum merasa takut dulu, tetapi jantungnya mulai berdebar keras, dan
adrenalinnya terpacu. Perubahan-perubahan faal/fisiologi ini dipersepsi oleh
orang yang bersangkutan dan baru pada saat itulah orang tersebut merasa takut
(menjerit). Dalam sebuah praktik, teori ini digunakan sebagai dasar untuk,
misalnya, terapi tertawa. Dalam satu kelompok, orang diminta untuk tertawa saja
sekeras-kerasnya walaupun tidak ada yang lucu, maka emosi senang dan gembira
akan muncul karena tertawa itu.
Walter
Canon dan Philip Bard (1929) Sarwono (2012), membuktikan dalam
penelitian-penelitiannya dengan hewan, bahwa reaksi motorik timbul setelah
takut, bukan reaksi motorik menimbulkan takut (Garret, 2005; Feldman, 2003)
dalam Sarwono (2012). Orang menjerit dan lari karena takut, bukan menjerit dulu
baru merasa takut.
Teori
Cannon ini pun masih belum dianggap baik, karena penelitian-penelitian
berikutnya oleh para penganut aliran psikologi kognitif menemukan bahwa reaksi
orang terhadap suatu rangsangan tertentu bisa berbeda-beda. Seorang ibu rumah
tangga yang belum pernah melihat beruang, memang bisa menjerit ketakutan, jika
secara tiba-tiba melihat seekor beruang dihalaman rumahnya. Seorang pelatih
beruang akan bereaksi tenang saja, sama selaki tidak takut karena sudah
terbiasa dengan binatang itu. Jadi, di sini ada faktor interpretasi terhadap
rangsangan (bukan terhadap reaksi motorik) yang menyebabkan akan timbul emosi
atau tidak.
Jelaslah
bahwa menurut Psikologi Kognitif, emosi sangat tergantung pada pengalaman,
dipelajari, dan empirik. Dalam praktik banyak ditemui suami yang tidak
bergairah lagi dengan istrinya sendiri (walaupun sangat cantik) karena sudah
beberapa tahun bergaul dengan istrinya terus (sudah terbiasa), sementara
emosinya lebih terpacu ketika melihat pembantu rumahnya yang baru datang dari
desa (sesuatu yang baru lebih memacu adrenalin).
Emosi
yang kuat pada umumnya diikuti perubahan-perubahan pada tubuh, seperti:
1.
Reaksi elektris pada kulit: meningkat
bila terpesona
2.
Peredaran darah: bertambah cepat bila
marah
3.
Denyut jantung: bertambah cepat bila
terkejut
4.
Pernafasan: bernafas panjang kalau
kecewa
5.
Pupil mata: membesar bila sakit atau
marah
6.
Air liur: mongering kalau takut atau
tegang
7.
Bulu roma: berdiri kalau takut
8.
Pencernaan: mencret- mencret kalau
tegang
9.
Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan
otot menegang atau bergetar (tremor).
10.
Komposisi darah: komposisi darah akan
ikut berubah dalam keadaan emosional karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.
C. Pengaruh Positif dan Negatif Emosi
1. Pengaruh positif emosi
Dampak
positif emosi ini sangat tergantung kepada pribadi dan pengalaman-pengalaman seseorang.
Pengalaman akan banyak mempengaruhi perkembangan emosi baik yang bersifat
memupuk, menghambat, dan mematikan. Semakain banyak pengalaman seseorang didasari
oleh pengertian dan kemauan untuk mempelajari pengalaman-pengalaman yang
dialami jelas akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tindakan-tindakan
berikutnya, seorang atlet akan lebih mampu mengendalikan emosi dalam
batas-batas yang diinginkan. Atlet juga akan dapat memanfaatkan dorongan emosi
tanpa menggangu pelaksanaan suatu tindakan. Begitu pula dalam dunia olahraga,
pengendalian emosi sangat menentukan dalam pencapaian prestasi. Dalam dunia
olahraga cukup banyak rangsangan-rangsangan yang dapat memacu perkembangan
emosi.
Syarat
mutlak tergeraknya emosi adalah adanya rangsangan. Sedangkan
rangsangan-rangsangan dapat menimbulkan emosi apabila rangsangan dapat
menggerakkan dorongan-dorongan individu dan seberapa jauh efek rangsangan
tersebut terhadap emosi sangat tergantung pada sifat dan tempramental serta keadaan
individu itu sendiri, di samping juga bergantung pada keteraturan dan kekuatan
rangsangan yang memacu emosi tersebut. Pengertian dan pengalaman terhadap
situasi sesaat ikut menentukan pula.
Dalam
kegiatan olahraga, pengalaman bertanding sangat menentukan bagi perkembangan
emosi. Dengan bertanding para atlet selalu mendapat rangsangan-rangsangan emosi
yang beraneka ragam, baik yang datang dari penonton, lawan bertanding ataupun
wasit, dan sebagainya. Kadang rangsangan-rangsangan ini terlalu kuat bagi atlet
yang lain. Dapat memunculkan pengaruh positif apabila rangsangan tersebut mampu
merangsang emosi setinggi-tingginya tanpa menimbulkan gejala-gejala over stimulus, sehingga olahragawan
tersebut dapat bertindak dengan semangat yang tinggi tanpa kehilangan
pertimbangan pemikiran dan akalnya. Hal ini yang harus diusahakan oleh seorang
pelatih meskipun sulit. Kepekaan emosi tidak sama, setiap atlet mempunyai
kepekaan emosi yang berbeda-beda tergantung pada kekayaan pengalaman,
pengertian, pengetahuan terhadap situasi sesaat dan masih banyak lagi hal-hal
yang ikut mempengaruhinya.
Menurut
Tenenbaum. G & Eklund. R. C (2007: 33) terdapat bukti secara empiris bahwa rangsang
emosi yang muncul bersifat tidak menyenangkan seperti kecemasan, kemarahan, dan
ketegangan dapat membantu kinerja atlet. Emosi yang menimbulkan rasa tidak
senang dapat membantu menghasilkan lebih banyak energi dan mempertahankan
kinerja olahragawan dalam pertandingan. Dengan munculnya emosi tersebut seorang
atlet diharapkan dapat mengontrol energi yang digunakan selama pertandingan
berlangsung, misalkan dalam situasi atau kondisi kelelahan yang ekstrim. Emosi
ini jika disalurkan dengan baik dalam proses kinerja, secara subtansial dapat
menunda kelelahan, mempertahankan kewaspadaan bertanding, dan tetap fokus dalam
pertandingan. Dengan kata lain, emosi tidak menyenangkan yang muncul ketika
pertandingan jika dimanfaatkan dengan baik oleh atlet juga dapat mengurangi
stress saat pertandingan dan dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk
meningkatkan kinerja olahragawan.
2. Pengaruh negatif emosi
Dalam
kondisi-kondisi tertentu suatu pertandingan atau perlombaan dalam olahraga
seperti rasa lelah, ejekan penonton, angka lawan lebih unggul dan lainnya.
Mungkin olahragawan akan mudah sekali menjadi tersinggung, marah-marah, kesal,
dan tidak bisa berfikir lagi dengan tenang. Akhirnya tindakan-tindakan atlet didominasi
oleh emosi kemarahan dibandingankan dengan pertimbangan-pertimbangan akal dan
pikiran. Emosi yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh negatif dalam
olahraga antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Gelisah
Gelisah adalah gejala takut atau dapat pula dikatakan taraf takut yang ringan. Biasanya rasa gelisah ini terjadi
pada saat-saat menjelang pertandingan akan dimulai. Rasa gelisah akan terjadi
apabila seseorang itu belum mengalami apa yang akan dilakukan atau dapat pula terjadi oleh misalnya ketidak mampuan
terhadap apa saja yang akan dikerjakan atau mungkin adanya rasa “sentiment”, kebingungan atau ketidak
pastian. Rasa gelisah akan berubah menjadi menggembirakan manakala penyebab rasa
gelisah (pertandingan akan dimainkan) tertunda pelaksanaannya.
Bagaimana cara untuk menghindari atau mengurangi
timbulnya kegelisahan?, cara yang baik adalah dengan jalan merasionalisasi emosi,
yaitu segala hal yang negatif dianggap positif. Hal-hal demikian dapat dilatihkan,
yaitu dengan membiasakan untuk:
1)
Merumuskan
persoalan-persoalan yang sebenarnya merupakan sebab kegelisahan secara jelas.
2)
Memperhitungkan
segala kemungkinan yang menjadi akibat paling ringan sampai pada yang paling
berat atau paling jelek.
3)
Membuat persiapan
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang biasanya terjadi dengan segala rumus pemecahanya baik oleh diri sendiri
maupun dengan orang lain.
4)
Menghadapi
persoalan-persoalan dengan rasa siap dan tabah dan serta percaya pada kemampuan
diri sendiri.
Dengan cara-cara tersebut di atas dapat diharapkan kegelisahan
yang dialami atlet sedikit demi sedikit bisa dikurangi atau bahkan dapat
dihilangkan.
b.
Takut
Hampir semua orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang
menentukan. Takut biasanya berakar pada pengalaman sebelumnya atau pada
masa-masa lampau yang pengaruhnya pada tingkah laku dan kepribadian seseorang yang
membekas sepanjang hidupnya. Takut banyak macamnya, misalnya takut
pada binatang, takut sendirian takut jika berada di depan orang banyak, takut akan timbulnya cidera dan sebagainya.
kegelisahan yang dialami oleh atlet dapat berubah menjadi ketakutan apabila tidak mendapat penyelesaian yang sebaik-baiknya. Rasa
takut dapat memberi pengaruh yang negatif atau positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Dalam batas-batas yang masih normal rasa takut akan memberi pengaruh yang positif, karena dengan rasa takut tersebut
seseorang akan lebih berhati-hati terhadap apa yang ditakutinya, misalnya saja atlet jadi lebih siap atau sebaiknya mungkin atlet lebih baik menghindar.
Rasa takut lebih baik jangan dihindari sama sekali,
tetapi dikendalikan. Misalnya seorang atlet yang tidak memiliki ketakutan terhadap kekalahan dalam pertandingan yang akan diikuti. Atlet akan berbuat apa yang dikehendakinya, akhirnya atlet akan tersesat oleh perasaan “kalah ya biar”.
Usaha yang kira-kira dirasa
terlalu berat untuk meraih keunggulan nilai, cenderung untuk tidak dilaksanakan,
karena dipandang terlalu menghabiskan tenaga di
samping juga sikap berhati-hati juga menjadi berkurang.
Konsentrasi menjadi buyar dan usaha-usaha untuk mencari kelemahan- kelemahan
lawan tidak ada lagi.
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang anak
yang sama sekali tidak takut jatuh dari pohon, maka sikap hati-hati waktu
memanjat pohon akan berurang apabila dibandingkan dengan anak-anak yang takut jatuh. Begitu
pula anak yang tidak takut jatuh dari sepeda motor, akan lebih berani dan terlalu berani sewaktu mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang kadang-kadang tidak memikirkan
kemungkinan adanya kecelakaan yang dapat ditimbulkan akibat perbuatannya.
Rasa takut juga tidak boleh ditanamkan sehingga
menyebabkan orang sama sekali tidak berani mengambil resiko, akhirnya orang
tersebut terlalu berhati-hati, terlalu banyak perhitungan yang kadang-kadang
yang tidak diperlukan. Akibatnya orang tersebut tidak pernah mau mencoba dan berusaha untuk
mengatasi ketakutan yang timbul.
Tindakan
yang paling baik adalah apabila
rasa takut dikendalikan, artinya
tidak ditahan, tetapi juga tidak dihilangkan sama sekali. Hal ini memang sulit
sampai seberapa jauh takut itu harus dikendalikan.
Dalam dunia olahraga rasa takut kalah di dalam
batas-batas normal adalah baik, karena dengan demikian seorang
atlet akan mempersiapkan diri untuk
menghindari kekalahan. Melatih diri, berusaha mencari kelemahan-kelemahan
lawan, penghematan tenaga atau penghematan penghamburan tenaga yang tidak perlu dan
sebagainya. Sehingga
sekali-sekali jangan mengartikan pengendalian rasa takut sama dengan menanamkan rasa takut.
Menurut beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh Reuben B.
Frost dari Springfield College mengenai bagaimana seharusnya
menangani masalah takut, antara lain diajukan beberapa
pendapat sebagai berikut:
1)
Mencoba
menemukan dan memahami sebab-sebab terjadi rasa takut.
2)
Mendekati
dan mengenali situasi yang ditakuti sedikit demi sedikit.
3)
Mempersiapkan
diri untuk menghadapi apa yang ditakuti dengan membuat perencanaan yang pasti
dan taktik yang tepat guna.
4)
Menguji
dan menganalisa alasan-alasan mengapa sampai terjadi ketakutan. Menolong
mencarikan sebab-sebab timbulnya kesulitan-kesulitan yang ditakuti (adakah
pengaruh kecelakaan yang dulu-dulu atau memang belum mengenal masalahnya).
5)
Menanamkan
keakraban antara anggota group dan
rasa saling percaya antara anggota (berdiskusi bersama-sama, menyanyi bersama).
6)
Memberikan
sugesti bahwa orang-orang yang banyak pengalaman akan selalu memberikan
pertolongan kepada yang muda-muda.
7)
Meningkatkan
kekuatan dan ketrampilan (skill).
8)
Kerjakan
sesuatu yang dapat menghilangkan rasa takut.
9)
Kebanyakan
rasa takut akan lenyap pada waktu kegiatan-kegiatan yang ditakutkan itu telah
mulai dilakukan.
c.
Marah
Marah adalah emosi yang sering timbul juga dalam dunia
olahraga, dan marah ini pernyataannya selalu ditunjukan pada benda-benda atau orang-orang disekitarnya
dalam bentuk yang bersifat agresif dan spontan.
Manifestasi marah bentuknya bermacam-macam bergantung
pada taraf pendidikan, kebisaan, umur, dan sebagainya. Marah juga dapat
menimbulkan tenaga yang luar biasa yang tidak mungkin dapat diperbuat oleh
orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada saat tidak marah.
Marah juga termasuk emosi, maka seseorang yang sedang
marah sudah jelas akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan akalnya sehingga
orang yang sedang marah itu tidak mungkin lagi untuk mengerjakan hal-hal yang
rumit yang membutuhkan ketelitian. Begitu pula dalam olahraga, terutama dalam
pertandingan banyak sekali rangsangan yang memicu kemarahan atlet yang sedang bertanding, sehingga
mengakibatkan tindakan-tindakan bagi yang sedang marah itu menjadi lebih
agresif, spontan, kurang perhitungan sehingga ketelitiannya juga berkurang.
Karena ketelitiannya hanya menyalurkan kemarahan untuk hal-hal yang dapat mencelakakan atau
merugikan lawan. Misalnya dalam bermain bola voli keinginannya juga hanya bermain keras saja artinya atlet ingin men-smash bola sekeras-kerasnya, syukur-syukur
kalau tangan yang men-block itu cidera karena akibat dari kerasnya smash yang
dilakukan, misalnya jari tangan lawan itu dapat terkilir atau sobek. Atlet tidak lagi ingin menempatkan bola kearah yang kosong. Makin gagal makin bertambah
marahnya. Selama belum merasa puas dalam meyalurkan kemarahannya, selama itu
pula tindakan-tindakannya atau usaha-usaha hanya akan lebih banyak dikendalikan
emosi amarahnya dan jauh dari pertandingan akalnya.
Karena sifat marah memerlukan spontanitas dan ditunjukkan
dalam bentuk-bentuk agresifitas, maka jalan paling baik adalah jika atlit-atlit
tersebut dapat menghambat spontanitasnya dan mengurangi sikap agresifitas. Artinya
menanggapi kemarahan itu dengan sikap-sikap yang baik dan positif. Apabila dalam olahraga yang ada time-out, lebih baik diambil time-out
terlebih dahulu agar spontanitas kemarahan itu tertunda pelaksanaanya. Meskipun
hanya beberapa detik, biasanya sudah cukup untuk mengurangi derajat
kemarahannya. Kadang-kadang seseorang yang marah dapat mengatasi kemarahanya
dengan cara mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali dengan menghitung sampai
beberapa puluh atau menghadapi kemarahan itu dengan senyum untuk mengurangi
kemarahan tersebut.
Dalam pertandingan kadang sukar untuk dapat menghilangkan sumber dari kemarahan,
sebab dalam dunia olahraga kadang memancing kemarahan lawan adalah disengaja
dengan harapan apabila lawan itu sudah tidak sadar lagi, akibatnya atlet ingin tetap main keras yang dapat mengakibatkan
banyaknya energi yang harus dikeluarkan sehingga pada suatu saat atlet kehabisan tenaga dapat dengan mudah untuk dikalahkan.
Hal seperti diatas harus disadari,
dimengerti oleh atlet, jangan sampai atlet terkena pengaruh lawan untuk menjadi marah. Perlu
diingat marah memang dapat
menimbulkan tenaga yang luar biasa, tetapi jangan sampai mengakibatkan
hilangnya pertimbangan akal dalam menyalurkan timbulnya tenaga tersebut.
Manfaat tenaga itu untuk usaha-usaha yang produktif.
Untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan
perlu dicari bagaimana jalan meredahkan kemarahan yang terjadi. Hal ini dapat
diusahakan antara lain dengan cara:
1)
Menghambat
spontanitas tindakan kemarahan.
2)
Mengurangi
agresifitas tindakan kemarahan.
3)
Menanggapi
kemarahan dengan tindakan-tindakan atau usaha yang positif.
4)
Melupakan
atau menghilangkan sumber kemarahan.
Terdapat juga bukti bahwa emosi yang
menyenangkan tidak selalu menguntungkan bagi penampilan atlet pada saat
pertandingan, terutama dalam cabang olahraga yang membutuhkan tingkat
konsentrasi tinggi, dan dengan waktu pertandingan yang relatif lama. Rasa puas
yang berlebihan menyusul keberhasilan yang tidak terduga atau berulang dapat
menimbulkan masalah khusus dalam pencapaian penampilan prestasi yang maksimal.
Selain itu, kepercayaan diri yang terlalu tinggi kadang dapat menyebabkan menimbulkan
rasa puas yang berlebihan dan akibatnya bertindak seperti meremehkan lawan,
sehingga atlet kurang waspada, kurang fokus, atau kecerobohan dan terlalu
banyak mengambil resiko. Situasi ini pada gilirannya dapat dapat menimbulkan
efek yang merugikan pada penampilan atlet, dan sering minimbulkan cedera yang
tak terduga (Devonport, Lane, & Hanin, 2005; Wurth & Hanin, 2005).
D. Emosi sebagai suatu respon
Definisi
emosi menurut Deci (1980) menyatakan bahwa emosi adalah reaksi terhadap
rangsangan, yang dapat menjadi nyata atau dibayangkan. Misalnya seorang atlet
rugby akan merasa senang apabila dapat mencetak angka, selanjutnya akan merasa
kecewa karena telah gagal dalam menangkap bola, merasa takut karena berhadapan
dengan lawan yang lebih kuat. Beberapa rangsangan dapat menimbulkan reaksi
emosional pada seorang individu, dari rangsangan lingkungan (stimulus visual)
terhadap rangsangan internal (negative
self-talk, dan meningkatnya denyut jantung). Konsep emosi sebagai respon
berbeda dengan suasana hati (mood).
Dalam istilah filsafat emosi harus tentang sesuatu. Suasana hati dianggap lebih
lama durasinya dari pada emosi (Ekman, 1994) dalam Tenenbaum. G & Eklund. R.
C (2007).
E. Peranan kognitif terhadap emosi
Meskipun
beberapa ahli telah berpendapat bahwa respon emosional tidak selalu membutuhkan
proses kognitif (Zajonc, 1984a, 1984b), untuk beberapa orang peran kognisi
sangatlah penting karena apabila suatu reaksi tidak bereaksi secara emosional
terhadap rangsangan atau stimulus dianggap tidak memiliki makna atau relevansi.
Clore (1994) mengatakan, ketika seseorang merasa senang tentang sesuatu, merasa
sedih karena sesuatu, atau takut sesuatu, harus ada proses kognitif yang
menentukan relevansi dari suatu peristiwa atau obyek yang menghasilkan respon
emosional. Hal tersebut tidak untuk mengatakan bahwa seseorang individu selalu
menyadari mengapa mereka telah mengalami emosi, karena proses ini terjadi
secara sadar (Lazarus, 1991).
Satu
teori yang menekankan pentingnya peran kognitif dalam proses emosi yang muncul
sangat tepat untuk menciptakan kerangka kerja yang menjadi dasar strategi
pengendalian emosi, Lazarus (1991).
Menurut
Lazarus (1991) hal terpenting yang harus dimengerti saat memahami proses
terjadinya emosi adalah dengan menyadari hubungan individu dengan
lingkungannya. Aktivitas kognisi adalah hal yang menjembatani hubungan antara
individu dengan lingkungannya. Aktivitas kognisi menurut Lazarus, yaitu knowledge dan appraisal (Lazarus & Smith, 1988 dalam Lazarus, 1991).
Knowledge
adalah memahami bagaimana sesuatu peristiwa terjadi, baik secara umum maupun
dalam konteks spesifik, sedangkan appraisal
atau penilaian terdiri dari evaluasi yang terus menerus mengenai signifikansi
(makna) dari apa yang terjadi bagi kesejahteraan diri individu (Lazarus, 1991).
Menurut Lazarus (Wortman, Loftus, & Weave, 2001) penilaian kognitif terkait
dengan kebutuhan, keinginan dan sumber-sumber yang individu miliki dalam hubungannya
dengan peristiwa atau situasi tersebut. Penilaian secara kognitif ini dapat
disebut juga sebagai pemaknaan personal sebuah peristiwa bagi individu.
Setelah
appraisal terjadi, kemudian akan
timbul berbagai macam emosi pada diri individu, sebagai akibat dari penilaian
individu terhadap situasi tersebut, jadi, tanpa makna personal, knowledge bersifat ‘dingin’ nonemotional. Saat knowledge menyentuh kesejahteraan personal, knowledge menjadi ‘panas’ atau emosional (Abelson, 1963), Folkman,
Schaefer, & Lazarus, 1979, dalam Lazarus, 1991). Kesimpulan yang dapat
diambil adalah bahwa emosi timbul dari hasil penilaian kognitif individu
terhadap sebuah situasi yang dinilai mempengaruhi kesejahteraan personal
individu. Oleh karena itu, sebuah situasi yang sama atau mirip dapat
menimbulkan emosi-emosi yang berbeda bagi tiap individu, tergantung dari
penilaian kognitif masing-masing individu.
Terdapat
dua tahap cognitive appraisal
(penilaian kognitif) menurut Lazarus (1991):
1.
Primary
appraisal: menitikberatkan pada pertanyaan apakah informasi
atau peristiwa yang dialami individu berhubungan dengan kesejahteraan individu.
2.
Secondary
appraisal: berhubungan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan coping, yaitu apakah perlu dilakukan
aksi untuk mencegah bahaya (harm),
memperbaikinya, atau menambah kerugian atau keuntungan yang telah dialami
individu.
F. Karakteristik dari respon emosional
1.
Physiological
changes (perubahan fisiologis)
Ada
sejumlah perubahan fisiologis yang merupakan bagian dari respons emosional.
Sebagai contoh, seorang individu yang malu memungkinkan mukanya akan memerah,
sementara individu yang sedang merasa takut akan terlihat pucat, prubahan
fisiologis yang lain yang terjadi selama reaksi emosional dapat dideteksi
melalui tindakan biokimia (Frankenhaeuser & Rissler, 1970). Perubahan fisik
dalam ekspresi wajah juga bisa terjadi, misalkan cemberut, tersenyum dan
lainnya dianggap menjadi penting dalam proses emosi, meskipun besarnya peran
ini tidak jelas.
Peran
physiological arousal juga relevan
dengan pengalaman emosi dalam pengaturan olahraga. Peningkatan kegairahan (arousal) dapat menemani beberapa emosi
(misalnya, kecemasan, kegembiraan), dan penurunan gairah dapat menyertai emosi
lainnya (misalnya, kekecewaan, kesedihan), sementara beberapa emosi bisa
disertai dengan sedikit atau tidak ada perubahan dalam tingkat gairah
(misalnya, rasa bersalah). Tingkat gairah mungkin bermain di beberapa
intensitas emosi. Zillmann’s excitation transfer theory (1971) berpendapat
bahwa aktivitas simpatis tidak berhenti tiba-tiba, tetapi menghilang secara
perlahan-lahan, sisa gairah yang bergabung dengan gairah yang dihasilkan dari
situasi berikutnya dapat meningkatkan intensitas pengalaman emosional (Zillmann, 1971; Zillmann, Katcher,
Milavsky, 1972).
2.
subjective
experience (pengalaman subyektif)
Vallerand
dan Blanchard (2000) menunjukkan bahwa pengalaman subjektif mengacu pada “apa
seseorang individu secara sadar mengalami selama episode emosional “sebagai
contoh, seorang atlet rugby yang gagal menangkap bola pada saat permainan
berlangsung, sehingga timbul perasaan marah pada dirinya yang mengakibatkan
timnya kalah. Ini adalah pengalaman subjektif yang biasanya didapat dalam
olahraga.
3.
Action
tendencies (kecenderungan tindakan)
Salah
satu komponen emosi adalah adanya kecenderungan untuk bertindak. Bahkan dalam
banyak kasus, emosi diikuti langsung oleh tindakan. Kecenderungan bertindak
atau perwujudan tindakan setelah emosi, dalam hal ini dianggap sebagai
rangkaian emosi-motivasi.
G. Pengaruh emosi terhadap kinerja
olahraga
Banyak
penelitian menunjukan bahwa berbagai emosi berhubungan dengan perubahan tingkat
kinerja, secara umum, bahwa keadaan emosi seseorang bisa mempengaruhi motivasi
bersama dengan fungsi baik fisik maupun kognitif.
1.
Pengaruh
emosi terhadap motivasi
Vallerand dan Blanchard (2000) menunjukkan
bahwa banyak teori menganggap emosi melayani fungsi adaptational yang dapat memberikan energi untuk melakukan tindakan
berikutnya dengan memastikan kondisi fisik dan mental yang kuat untuk
menjalankan tugas. Beberapa jenis emosi bisa memiliki efek yang baik tergantung
pada individu tertentu dan situasi. Sebagai contoh perasaan bersalah tentang seorang
atlet basket yang berusaha menjauh dari bola dalam pertandingan untuk
menghindari salah, tetapi terdapat atlet yang berusaha untuk memperoleh kembali
bola dalam suatu pertandingan untuk meningkatkan kinerja dan mengatasi perasaan
bersalahnya.
2.
Pengaruh
emosi terhadap fungsi fisik
Seperti disebutkan sebelumnya, perubahan
gairah dapat terjadi bersamaan dengan perasaan emosi, perubahan gairah dapat
mempengaruhi fungsi fisik, bahwa individu dalam keadaan gairah tinggi belum
tentu mengalami emosi, dan individu dapat mengalami emosi tanpa harus mengubah
tingkat gairah atlet. Banyak atlet mengatakan bahwa gairah pada tingkat tinggi
dapat membantu atlet dalam penampilan di pertandingan. Sebagai contoh, atlet
gulat olimpiade mencapai tingkat gairah hingga 70% sebelum kompetisi digelar
dapat meningkatkan daya anaerob. Namun, itu bisa mengakibatkan efek negatif
terhadap tugas-tugas yang membutuhkan motorik halus seperti mengalami
peningkatan ketegangan otot, menurunnya koordinasi dan menurunnya control tubuh
(Parfitt et al., 1990).
3.
Pengaruh
emosi terhadap fungsi kognitif
Fungsi kognitif dipengaruhi baik oleh
perubahan gairah yang menyertai beberapa emosi dan oleh perubahan kognitif itu
sendiri. Parfitt et al. (1990) menyatakan bahwa gairah yang terlalu tinggi dapat
merusak memori kerja dan memiliki efek jangka panjang tergantung pada jenis
kerja (meningkat untuk tugas-tugas yang mudah, tapi mungkin terganggu untuk
tugas yang sulit).
Selain itu, peningkatan arousal yang disertai kecemasan (somatic anxiety) telah terbukti
memiliki efek positif pada kecepatan (Jones & Cole), 1989). Selain itu,
arousal yang terlalu tinggi mengakibatkan fokus perhatian menjadi sempit
dibandingkan dengan tingkat kegairahan yang rendah (Easterbrook, 1959). Sebagai
contoh, ketika seseorang yang mengalami kecemasan yang tinggi maka pusat
perhatiannya hanya terfokus kepada sesuatu yang dapat menimbulkan ancaman bagi
dirinya. Hal ini digambarkan oleh seorang penyerang sepakbola yang terfokus
kepada pemain bertahan yang menjaga pergerakannya karena merasa takut untuk di
cederai oleh pemain bertahan, sehingga fokus perhatiannya tidak kepada teman
yang menguasai bola dan berusaha untuk bergerak mencari ruang. Meskipun
peningkatan gairah dapat menyebabkan penyempitan fokus perhatian dilapangan, kognitif
yang menyertai respon emosional juga dapat mempengaruhi fokus perhatian juga.
Kecemasan juga mengakibatkan pengurangan fungsi kognitif untuk melakukan
gerakan dalam olahraga, kemampuan kognitif juga berkurang sebagai akibat dari
emosi yang lain. Sebagai contoh, ketika pemain tenis melakukan servis dan
mengalami kegagalan, selanjutnya timbul perasaan emosi (marah) yang
mengakibatkan pemain tidak langsung menyiapkan perhatiannya untuk permainan
berikutnya akan tetapi hanya terdiam dan menyesali kegagalannya.
Eysenk
& Calvo (1992) menyatakan bahwa keadaan emosi juga dapat memiliki efek
positif terhadap peningkatan perhatian. Dalam situasi tertentu, kekhawatiran
mungkin meningkatkan kinerja dan meningkatkan konsentrasi, karena seorang
individu yang khawatir tentang sesuatu dapat mengalokasikan sumber daya mental
tambahan yang dapat meningkatkan kinerja.
Hanin (2000) menyatakan bahwa apabila
emosi dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kinerja dapat menjadikan lebih
efisien penggunaan sumber energi yang dibutuhkan selama pertandingan.
H. Pengendalian Emosi dalam Olahraga
Emosi
yang dialami atlet sangat mempengaruhi kinerja sebelum dan selama kinerja
olahraga (Hanin, 2010). Respon emosi yang tepat sangat bermanfaat bagi atlet,
misalnya, dapat meningkatkan kinerja gerak, meningkatkan kualitas interaksi
dengan rekan tim, mengurangi resiko tindakan kurang disiplin, dan mengurangi
resiko cidera. Oleh karena itu regulasi emosi/pengendalian emosi dianggap
penting oleh psikolog olahraga sebagai ketrampilan psikologis yang penting (Andy,
L, 2011) http://www.bases.org.uk/Emotion-Regulation-in-Sport.
Faktor-faktor
emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi
terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya.
Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah,
cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap
orang. Perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana atlet mengendalikan emosi
tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian
emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan.
Pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi olahragawan
asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan
kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat
membuat atlet marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian
pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para atlet
asuhannya, yang tentu saja akan berbeda antara olahragawan yang satu dengan olahragawan
lainnya.
Gejolak
emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit
perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis
maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga olahragawan tidak dapat tampil
maksimal. Seringkali seorang olahragawan mengalami ketegangan yang memuncak
hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan
tersebut sampai olahragawan tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi
jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat
dibayangkan olahragawan tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya
akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan ia
tidak tahu harus berbuat apa.
Emosi memainkan
peran sentral dalam kinerja olahraga. Oleh Karena itu, beruntung bagi atlet
yang dapat menggunakan regulasi strategi untuk meningkatkan pengendalian emosi.
Berikut ini adalah strategi yang bertujuan untuk mengontrol emosi dalam kinerja
olahraga berdasarkan Lazarus “cognitive-motivational-relational
theory of emotion” adapun teknik tersebut terdiri dari: Self-Statement Modification, Imagery,
Socratic Dialogue, Corrective Experiences, Vicarious Learning: The Modeling
Effect, Self-Analysis, Didactic
Approach, Storytelling, Metaphors, and Poetry, Reframing, Teaching
Problem-Solving Skills.
1. Self-Statement Modification
Self-Statement Modification
(SSM). SSM berawal dari asumsi bahwa orang yang mengalami kecemasan umumnya
melakukan dialog pada diri sendiri (self-talk)
seperti “saya buruk”, “saya tidak mampu”. SSM dapat dipraktikkan dimulai dengan
positive self-talk (”saya tetap fit
dan sehat”), kemudian mengeliminasi pemikiran negatif dan mengkontrol emosi
kognitif (”saya tidak perlu khawatir”). Atlet juga dapat menggunakan dukungan
sosial dengan mencoba mendiskusikan dengan orang yang sudah berpengalaman
misalnya pelatih, rekan satu tim, atau orang tua sehingga atlet termotivasi
untuk lebih percaya diri.
2. Imagery
Imagery sering disebut dengan guided imagery, visualization, latihan mental, atau self hypnosis. Imagery
adalah teknik yang biasa digunakan oleh psikolog olahraga untuk membantu
seseorang memvisualisasikan atau melatih mental berkaitan dengan kegiatan yang
akan dilakukan. Dalam konteks olahraga, imagery
digunakan untuk membantu atlet membuat visualisasi yang lebih nyata berkaitan
dengan pertandingan atau kompetisi yang akan dijalaninya.
Imagery
membantu atlet untuk menciptakan gambaran yang riil berkaitan dengan kesulitan
dan masalah-masalah yang mungkin akan dihadapi oleh para atlet selama
pertandingan. Seperti diketahui, atlet seringkali membuat gambaran yang tidak
nyata baik tentang dirinya maupun tentang lawan yang akan dihadapi. Menganggap
lawan lebih superior, kemampuan teknisnya masih rendah atau lingkungan
pertandingan yang menekan seringkali muncul di benak para atlet ketika
menyiapkan diri untuk sebuah pertandingan.
Efeknya,
seringkali atlet merasa rendah diri dan akhirnya merasa cemas yang berlebihan.
Jika berlanjut terus menerus, maka kecemasan tersebut akan mengganggu performa
atlet tersebut. Kecemasan yang muncul sebelum bertanding akan mengurangi
konsentrasi dan membuat penampilannya menurun.
Pada penelitian terakhir,
tentang imagery, dihasilkan bahwa imagery tidak hanya dapat meningkatkan
arousal dan meningkatkan keadaan fisik yang lebih baik, tetapi juga dapat
menjaga ketenangan dalam kompetisi (Munroe, Giacobbi, Hall, & Weinberg,
2000). Latihan imagery yang berfokus
pada perasaan seperti relaksaki, stress, gairah, dan kecemasan dalam
hubungannya dengan olahraga kompetisi bisa menjadi strategi yang efektif untuk
pengendalian emosi.
Imagery juga dapat digunakan untuk menghasilkan keadaan emosional
yang positif (misalnya, mengingat kesuksesan yang pernah dialami masa lalu yang
dapat menyebabkan kebahagiaan dan kegembiraan) sehingga atlet akan lebih
percaya diri dalam penampilannya. Selain itu imagery juga dapat menghapus stimulus yang menghasilkan emosi
negatif (misalnya, gambaran pelaksanaan teknik yang benar dan menggantikan
pelaksanaan teknik yang salah). Imagery
juga dapat meningkatkan penampilan dalam situasi-situasi yang menantang.
3. Socratic Dialogue
Strategi ini
mengacu kepada proses berpikir atlet dimana atlet diminta untuk mengevaluasi
atau menilai hal-hal yang pernah dilakukan pada saat pertandingan terhadap
tindakan yang merugikan diri sendiri maupun tim, kesalahan presepsi, dan self-
discovery. Sebagai contoh, sebuah tindak atlet sepakbola yang melakukan
protes kepada wasit tentang keputusan yang telah diambil, yang mengakibatkan
kerugian bagi tim yang dibela, namun protes yang dilakukan tidak akan merubah
keputusan wasit tersebut, dan dengan tindakan yang dilakukan oleh atlet
tersebut dapat mengakibatkan munculnya emosi yang negatif pada diri altet
(misalnya, marah, kecewa). Dengan strategi socratic dialogue diharapkan atlet
dapat berpikir bahwa tindakannya merupakan hal yang sia-sia untuk dilakukan dan
dapat menimbulkan kerugian terhadap atlet (Danang, 2012) http://id.prmob.net/emosi/pengalaman/nyeri-1582702.html.
4. Corrective Experiences
Disini
seorang individu membuat keputusan sadar untuk terlibat dan melakukan perilaku
hal yang menjadi perhatian. Sebuah contoh seorang pendaki gunung yang ditunjuk
sebagai pemimpin pendakian sehingga timbul rasa cemas pada dirinya, tetapi
setelah melalui masa persiapan dan latihan mental pendakian agar pendakiannya
sukses dan dukungan dari orang lain sehingga dari hal itu dapat menempatkan
pendaki tersebut sebagai pemimpin yang memiliki mental yang kuat untuk memimpin
pendakian dan dapat mendaki dengan sukses. Dengan menggunakan teknik ini, Secara
dramatis akan mengurangi kekuatan emosi negatif yang melekat pada pengalaman.
Dengan memperbaharui pengalaman tanpa emosi negatif, akan memecah siklus
negatif ke bawah di mana begitu banyak orang menemukan seseorang terjebak.
Tujuannya adalah untuk hanya kembali ke pengalaman dalam sebuah cahaya baru,
salah satu yang tidak diisi dengan emosi negatif. Proses ini dapat digunakan
berulang kali sampai emosi negatif dan menyakitkan telah secara
signifikan berkurang.
Setelah mencapai kebebasan dari
masa lalu, langkah berikutnya adalah untuk mulai bergerak maju dengan rencana
optimis dan positif untuk masa depan. Terus mendorong masa lalu lanjut ke
kejauhan, dan kemudian mengganti semua yang akan fokus yang kuat pada masa
depan yang positif. Dengan emosi negatif dari masa lalu telah mendorong jauh,
sekarang dapat mengganti masa lalu dengan mimpi masa depan. Kuncinya adalah
fokus pada mimpi-mimpi baru dan positif dan rencana. Mengembangkan mimpi baru
dan mulai bekerja untuk membuat mereka menjadi kenyataan.
5. Vicarious Learning: The Modeling Effect
Mandala,
A. (2011) secara umum, teori modeling atau social learning
merupakan salah satu teori yang menjelaskan pentingnya keteladanan dalam
perkembangan kepribadian seseorang. Pembentukan karakter yang baik memerlukan
adanya teladan atau contoh yang baik pula. Teori belajar sosial
ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses
pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap
perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai
lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial
adalah modeling (peniruan). Modeling
lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau
pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan
sekaligus melibatkan proses kognitif. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi yang
tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya.
Sebagai
contoh dari metode ini adalah seorang atlet tenis yang tadinya sering melakukan
kesalahan dalam melakukan teknik pukulan yang diakibatkan kurang tenang atau di
intervensi oleh perasaan emosi dalam melakukannya diharapkan dapat meniru
respon atau teknik pukulan yang digunakan oleh seorang atlet tenis yang dapat
melakukan teknik dengan baik dan lebih tenang. Modeling juga dapat dilakukan oleh pelatih atau psikolog olahraga
yang mungkin pernah mengalami hal yang sama dengan yang dilakukan atletnya saat
ini.
Contoh
dari situasi lain adalah ketika seorang atlet melihat pemain-pemain dunia dalam
menghadapi panggilan wasit terhadap peringatan yang diberikan kepadanya, di sana
seorang atlet bisa belajar mengenai tingkah laku dan sikap yang dilakukan atas
tindakan pemanggilan oleh wasit tersebut, yang sebisa mungkin menimbulkan emosi
(marah) pada saat pertandingan berlangsung. Dengan demikian strategi atau
metode coping dapat diterapkan dalam sesi latihan dengan permainan peran
seorang pelatih yang menjadi wasit untuk menciptakan situasi tersebut dan
melihat respon yang dilakukan oleh atlet terhadap situasi tekanan yang dialami oleh
atlet. Dengan demikian diharapkan dapat melatih atlet dalam menghadapi situasi
yang mirip dengan kejadian yang akan dialami didalam pertandingan yang
sesungguhnya.
6. Self-Analysis
Atlet
dapat menyimpan catatan tertulis di mana atlet merekam dan memonitor reaksi
emosional atlet dalam setiap pertandingan. Dari cara ini diharapkan akan muncul
peningkatan kesadaran terhadap reaksi emosi yang dilakukan dan akibat yang
dihasilkan dari reaksi emosional pada pertandingan sebelumnya. Dijelaskan juga
bahwa reaksi kesadaran kemarahan dapat lebih efektif dalam mengurangi perilaku
marah.
7. Didactic Approach (pendekatan Didactic)
Raflen
A. Gerungan (2011) didaktik berasal dari bahasa Yunani “didoskein”, yang berarti pengajaran atau “didaktos” yang berarti pandai mengajar. Di Indonesia didaktik
berarti ilmu mengajar. Karena didaktik berarti ilmu mengajar, maka pengertian
didaktik menyangkut pengertian yang sangat luas. Dalam kaitan pembicaraan
tentang didaktik, pengertian didaktik akan difokuskan pada bagaimana perlakuan
guru dalam proses belajar mengajar tersebut. Mengajar menurut pengertian modern
Secara umum pengertian didaktik adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan.
Hal ini berlaku bagi guru, pelatih
maupun siswa, semakin baik didaktik, semakin
efektif pencapaian tujuan, (file.upi.edu/.../perbaikan_dmp_renang.pdf).
Dalam hal ini
atlet dibekali pengetahuan tentang permasalah psikologis yang atlet alami setiap
pertandingan yang dihadapi. Hal ini hampir mirip dengan self-analisis,
tujuan dari metode ini adalah mengharapkan peningkatan kesadaran dalam situasi
di mana emosi-emosi itu muncul, sehingga dengan peningkatan kesadaran tersebut
diharapkan atlet dapat melakukan tindakan yang epat untuk lepas dari
permasalahan psikologis yang dialami. Sebagai contoh, seorang atlet yang
mengalami kecemasan tinggi sebelum kompetisi dibekali pengetahuan tentang
akibat atau dampak (positif dan negatif) terhadap kinerja atlet.
Petitpas (2000)
pernah melakukan hal ini kepada atlet wanita elit. Diketahui bahwa atlet
tersebut mengalami kecemasan dalam kompetisi. Dalam rangka menormalkan reaksi
dari kecemasan tersebut atlet tersebut memberikan pengertian bahwa kecemasan
tidak hanya dialami oleh dia saja, sehingga atlet tersebut dapat mengubah
penilaian utama tentang hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
semangat kepada atlet dalam penampilannya. Misalnya, “kecemasan adalah reaksi
yang normal dalam setiap kompetisi sehingga atlet diharapkan tetap memiliki
fokus tinggi dalam bertanding”. Dalam hal ini juga dapat digunakan cara dengan
memberikan solusi kepada atlet tentang menangani kecemasan yang dialami.
Sebagai contoh, “atlet bisa memanfaatkan teknik pernafasan yang telah dilakukan
didalam latihan untuk mengurang rasa cemas yang dialami”.
8. Storytelling, Metaphors, and Poetry
Serupa
dengan pendekatan didaktik, pelatih atau psikolog dapat menggunakan
teknik-teknik sastra untuk mendorong atlet untuk mempertimbangkan cara-cara
alternative dalam dalam melihat dan berurusan dengan situasi pertandingan yang
menimbulkan emosi. Contohnya mungkin pelatih menggunakan kutipan atau cerita
dari para bintang olahraga masa lalu untuk menggambarkan bagaimana atlet
mencapai keadaan emosional yang optimal untuk dapat dimanfaatkan dalam
pertandingan atau mengatasi tekanan dalam kompetisi.
9. Reframing
Reframing adalah suatu proses untuk merubah
isi, atau menata ulang sebuah pengalaman, atau interpretasi sehingga pengalaman
tersebut mendapatkan arti yang berbeda dari sebelumnya.
Terdapat dua bentuk reframing.
yaitu reframing Content dan reframing context
a.
Reframing
Content
Reframing Content adalah adalah pemberian suatu
pandangan baru (berbeda) sehingga sebuah peristiwa dapat memiliki nilai atau
makna yang baru. Contoh : "Saya selalu gagal dalam usaha mencetak gol yang saya
lakukan". Reframing content :
"Kamu tidak gagal, tapi kamu dalam proses menuju kesuksesan mencetak
gol".
b.
Reframing Context
Reframing Context adalah pemberian suatu
pandangan baru dimana dalam waktu dan kondisi yang berbeda, sebuah peristiwa
yang sama dapat memiliki makna yang baru. Contoh: "Sudah 3 kali usaha tembakan
yang saya lakukan dalam usaha mencetak gol". Reframing context: "itu artinya diusaha ke 4 kamu akan berhasil melakukannya".
Tujuan teknik reframing adalah memberdayakan (empowering) orang yang memiliki
pengalaman tersebut agar memiliki lebih banyak pilihan respon atas
pengalamannya, sehingga orang ini memiliki kekuatan untuk menuju arah atau
tujuan yang diinginkannya
(Fitra, 2008) (http: //fitra2008. Anugrah.com/2009/02/03/self-empowering-3-reframing-pemaknaan-yang memberdayakan-atas-pengalaman/). Selain itu ada tujuan lain dari teknik
reframing, yaitu : (a). Punya
perspektif yang berbeda (b). Punya pilihan tindakan lain
(c). Lebih membesarkan hati
(d). Positive thinking (e). Terlepas dari keterikatan makna.
10. Teaching Problem-Solving Skills
Belajar
menerapkan keterampilan pemecahan masalah, lebih diitekankan untuk
mengembangkan berpikir kritis dan melaksanakan proses penemuan untuk mencari
jalan pemecahan masalah. Dengan keterampilan pemecahan masalah, dapat membantu
atlet untuk belajar bermacam-macam pemecahan masalah, transformasi pengetahuan,
membantu atlet untuk belajar bagaimana mengerjakan berbagai tugas dalam
belajar.
Kemampuan
memecahkan masalah sangat pengting hubungannya dengan situasi antar pribadi
(interpersonal). Pemecahan masalah ini antar pribadi membutuhkan kemampuan
khusus agar menghasilkan berbagai alternative respon kepada individu lain yang
dihadapi, sebagai contoh seorang kapten sepakbola yang lebih muda usianya dari
sebagian rekan satu timnya yang lebih senior suatu saat menghadapi kondisi
dimana harus memberi tahu rekan satu tim yang lebih senior agar meningkatkan
kinerjanya dalam penampilannya, seorang kapten harus dapat menyusun kalimat
dengan cara yang positif, seperti “kamu bekerja sangat baik, hanya saja cobalah
untuk meningkatkan intensitas lebih baik sampai akhir pertandingan”. Agar tidak
timbul respon yang negatif. Dengan demikian seorang pelatih atau psikolog
olahraga harus dapat memberikan ketrampilan tersebut kepada atletnya. Ketika
suatu saat atlet menemui sebuah permasalah dalam penampilannya yang berhubungan
dengan masalah interpersonal dapat menghadapi masalah dengan baik. Sebagai
contoh: memberi tahu kapten untuk tidak mengatakan hal yang dapat menimbulkan
emosi yang negatif, missal mencaci rekan yang mengakibatkan rekan tim menjadi
marah.
BAB
III
KESIMPULAN
Olahraga memunculkan perilaku, dan ilmu yang mempelajari
perilaku di sebut dengan psikologi. Maka dari itu olahraga merupakan satu
bidang yang tidak terlepas dari kajian psikologi. Berbagai aspek psikologi
berpengaruh dalam perilaku berolahraga, maka dari itu kajian psikologi olahraga itu sendiri bermanfaat
untuk dapat mencapai optimalisasi dalam berolahraga, baik dari individu itu
sendiri, peregu, dari pelatih, efek penonton dan hal lain sebagainya.
Salah satu dari kajian psikologi olahraga yang harus dimengerti oleh setiap
pelatih adalah adanya faktor emosi yang mempengaruhi penampilan olahragawan dalam
olahraga.
Faktor-faktor
emosi dalam diri olahragawan menyangkut sikap dan perasaan olahragawan secara
pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya.
Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah,
cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap
orang. Perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana olahragawan mengendalikan
emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian
emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan.
Pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi olahragawan
asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan
kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat
membuat olahragawannya marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan
demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para
olahragawan asuhannya, yang tentu saja akan berbeda antara olahragawan yang
satu dengan olahragawan lainnya.
Gejolak emosi
dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut,
kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka
konsentrasi pun akan terganggu, sehingga olahragawan tidak dapat tampil maksimal.
Seringkali seorang olahragawan mengalami ketegangan yang memuncak hanya
beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan
tersebut sampai olahragawan tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi
jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat
dibayangkan olahragawan tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya
akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan atlet
tidak tahu harus berbuat apa.
Sehingga dari penjelasan di atas
seorang pelatih wajib menguasai ilmu psikologi, khususnya psikologi olahraga
agar hal-hal yang dapat menghambat prestasi olahragawan dari segi
psikologi/kejiwaan olahragawan dapat diidentifikasi dan meminimalisir terjadinya
permasalah yang berhubungan dengan psikologi olahragawan.
Pentingnya memasukan program latihan
mental (mental training) dalam sesi
latihan juga merupakan hal yang perlu dipahami oleh setiap pelatih, sehingga
dengan pengalaman emosi yang diciptakan pelatih pada saat latihan dapat
dimanfaatkan oleh setiap olahragawan agar dalam menghadapi pertandingan yang
sesungguhnya olahragawan dapat mengendalikan emosinya sehingga tidak
menimbulkan kerugian yang mengakibatkan menurunnya prestasi olahragawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar