Kamis, 13 Februari 2014

PSIKOLOGI OLAHRAGA

Emosi dan Olahraga





Berbicara masalah olahraga maka tidak lepas dengan istilah prestasi, dimana prestasi merupakan hal yang sangat didambakan oleh setiap pelaku olahraga khususnya pelaku olahraga prestasi. Banyak hal yang telah dilakukan manusia untuk mencapai prestasi dalam bidang olahraga, di antaranya dengan memanfaatkan berbagai macam hal yang berhubungan dengan peningkatan prestasi dalam bidang olahraga, baik itu teknologi, sumber daya manusia, penelitian-penelitian dalam bidang olahraga dan lain sebagainya.

 Di tengah keadaan bangsa Indonesia yang sedang terfokus dalam berbagai sektor pembangunan, bidang olahraga juga mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Salah satu hasil pembangunan olahraga yang sangat didambakan, baik para atlet dan pembinaan maupun para anggota masyarakat secara luas, adalah terciptanya prestasi puncak atlet Indonesia. Prestasi puncak adalah kemampuan olahragawan atau anggota kelompok (tim) untuk menciptakan prestasi maksimal, sehingga dapat lebih banyak berbicara di arena pertandingan olahraga Nasional maupun Internasional.
Berbagai kalangan mengemukakan pendapat bahwa untuk peningkatan prestasi olahraga diperlukan perombakan dan perubahan sistem manajemen yang selama ini dilaksanakan, antara lain masalah lembaga-lembaga dan kurikulum olahraga di sekolah serta guru dan pelatih yang memerlukan peningkatan keterampilan. Sistem pembinaan olahragawan secara langsung seperti metode dan strategi latihan, sarana dan prasarana, masalah gizi dan penerapan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan pembinaan.
Prestasi atlet tidak didapatkan dari langit tetapi dihasilkan dari  latihan yang sistematis, terprogram dan berkesinambungan. Seorang pelatih memegang peranan penting dalam peningkatan prestasi atlet. Hal yang perlu diketahui bagi pelatih olahraga sebelum melatih atlet adalah memahami aspek latihan, beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian serta dilatih secara sistematis diantaranya adalah: aspek fisik, aspek teknik, aspek taktik, aspek mental. Keempat aspek tersebut harus dilatih secara sistematis dan terencana berdasarkan prinsip-prinsip latihan yang benar.
Pada dasarnya untuk menjadi  pelatih olahraga prestasi seseorang lebih dulu mempelajari ilmu kepelatihan atau coaching. Ilmu kepelatihan bisa didapatkan dengan mengikuti pendidikan kepelatihan di Universitas maupun lewat jalur pendidikan lainnya seperti kursus dan diklat pelatih olahraga.
Tujuan utama seorang pelatih olahraga prestasi adalah berusaha meningkatkan prestasi atletnya semaksimal mungkin. Untuk itu pelatih harus selalu meningkatkan pengetahuan di dalam metodologi melatih dengan cara mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi secara intensif. Berkembang pesatnya teknologi khususnya internet semakin memudahkan pelatih dalam mengakses informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kepelatihan.
Berdasarkan urutan di atas, terlihat betapa luas masalah yang menyangkut usaha peningkatan prestasi tersebut. Tetapi dikemukakan suatu analisis strategi pembinaan olahraga yang masih jarang, yaitu pendekatan secara psikologis dalam mencapai prestasi puncak. Peranan kondisi kejiwaan mempunyai pengaruh yang penting dan menentukan, di dalam usaha olahragawan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Misalnya aspek dan peranan motivasi, emosi, frustasi, anxiety (kecemasan), arousal (kegairahan) dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Aspek-aspek tersebut perlu di pelajari dan diterapkan dalam kegiatan olahraga apabila ingin mencapai prestasi puncak.
Salah satu masalah yang dapat mempengaruhi keberhasilan atlet dalam penampilannya adalah aspek emosi yang dialami oleh atlet. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Tidak jarang mendengarkan berita-berita yang beredar dalam dunia olahraga tentang aksi kekerasan antar pemain sepakbola, pemukulan terhadap wasit sehingga insan olahraga yang seharusnya menjunjung rasa sportifitas yang tinggi harus menerima sangsi hingga larangan untuk bermain. Sangat disayangkan apabila permasalah itu timbul hanya karena masalah kecil sehingga menimbulkan emosi yang meluap-luap dan menghambat olahragawan dalam mencapai prestasi puncak.
B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan emosi?
2.    Teori emosi?
3.    Apa pengaruh emosi dalam olahraga?
4.     Bagaimana pengendalian emosi dalam olahraga?















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Emosi
Secara etimologi (asal kata), emosi berasal dari bahasa Prancis yaitu emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, “excite”, yang berdasarkan kata latin emovere, yang dari kata-kata e- (variant atau ex-), artinya ‘keluar’ dan movere, artinya ‘bergerak’ (istilah “motivasi” juga berasal dari kata movere). Dengan demikian, secara etiomologi emosi berarti “bergerak keluar” Sarwono (2012: 125).
Menurut Sarwono (2012: 124) pengertian emosi adalah sebagai reaksi penilaian (positif atau negatif) yang kompleks dari sistem syaraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi ini menggambarkan bahwa emosi diawali dengan adanya suatu rangsangan, baik dari luar (benda, manusia, situasi, cuaca), maupun dalam diri (tekanan darah, kadar gula, lapar, ngantuk, segar, dan lain-lain), pada indra manusia. Selanjutnya seseorang menafsirkan persepsi atas rangsang tersebut sebagai suatu hal yang positif (menyenangkan, menarik) atau negatif (menakutkan, ingin menghindar) yang selanjutnya diterjemahkan dalam respon-respon fisiologis dan motorik (jantung berdebar, mulut menganga, bulu roma berdiri, mata memerah, dan sebagainya) dan pada saat itulah terjadinya emosi.
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi adalah reaksi terhadap peristiwa (baik nyata ataupun tidak nyata) yang melibatkan perubahan organ dan otot seseorang, dialami secara subyektif, diungkapkan melalui cara-cara seperti perubahan wajah dan kecenderungan tindakan, yang dapat mengontrol energi dan tindakan berikutnya (Tenenbaum. G & Eklund. R. C, 2007: 32).
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran, sehingga emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
Sedangkan menurut Descrates, emosi terbagi atas: Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu: fear (ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002: 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:
1.    Amarah              : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.
2.     Kesedihan         : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,
  Putus asa.
3.    Rasa takut          : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
  Waspada, tidak tenang, ngeri.
4.    Kenikmatan       : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
  bangga
5.    Cinta                  : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,
  rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
6.    Terkejut             : terkesiap, terkejut.
7.    Jengkel               : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
8.    Malu                  : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Sehingga berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
Menurut Mayer (Goleman, 2002) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah reaksi terhadap suatu peristiwa (baik nyata ataupun tidak nyata) yang mengakibatkan perubahan organ dan otot seseorang, dialami secara subjektif, diungkapkan melalui cara-cara seperti perubahan wajah dan tindakan untuk merespon stimulus.
B.  Teori-teori Emosi
Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi, yaitu pendapat nativistik (emosi adalah bawaan) dan pendapat empiris (emosi adalah hasil belajar/pengalaman).
Salah satu penganut paham nativistik yang termasuk paling awal mengemukakan teori emosinya adalah Rene Descartes (1596-1650) dalam Sarwono (2012). Menurut Decrates, sejak lahir manusia enam emosi dasar yaitu: cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Salah satu pendapat yang melandasi teori-teori nativistik adalah bahwa ekspresi emosi pada dasarnya sama saja di antara hewan dan manusia, anak kecil, maupun orang dewasa (prinsip universalisme).
Di sisi lain, golongan empiris sangat mengutamakan hubungan antara jiwa yang berpusat di otak (khususnya amygdala yang dipercaya sebagai pusat emosi) dengan rangsangan-rangsangan dari lingkungan melalui jaringan syaraf pada tubuh manusia, yaitu mulai dari perifer/tepi (indra) ke pusat, diolah di pusat (otak) dan kembali ke perifer/tepi (motorik, kelenjar-kelenjar) dalam bentuk reaksi-reaksi tubuh.
Selanjutnya ada tiga empirik klasik tentang emosi yang didasarkan pada hubungan otak/syaraf dengan rangsangan dari lingkungan. Pertama adalah Teori Somatik dari William James dan Carl Lange (akhir abad ke-19), yang kemudian dikritik oleh Cannon Bard, dan yang termodern adalah Teori kognitif tentang emosi disebut juga sebagai Teori Singer-Schachter.
William James pada tahun 1893 dan Carl Lange pada awal abad ke-20 menyajikan pandangan tentang emosi. Menurut teori James-Lange, sebuah emosi adalah reaksi terhadap perubahan-perubahan dalam system fisiologi tubuh (Garret, 2005; Feldman, 2003; Schwartz, 1986) dalam Sarwono (2012). Apabila seseorang melihat seekor beruang, belum merasa takut dulu, tetapi jantungnya mulai berdebar keras, dan adrenalinnya terpacu. Perubahan-perubahan faal/fisiologi ini dipersepsi oleh orang yang bersangkutan dan baru pada saat itulah orang tersebut merasa takut (menjerit). Dalam sebuah praktik, teori ini digunakan sebagai dasar untuk, misalnya, terapi tertawa. Dalam satu kelompok, orang diminta untuk tertawa saja sekeras-kerasnya walaupun tidak ada yang lucu, maka emosi senang dan gembira akan muncul karena tertawa itu.
Walter Canon dan Philip Bard (1929) Sarwono (2012), membuktikan dalam penelitian-penelitiannya dengan hewan, bahwa reaksi motorik timbul setelah takut, bukan reaksi motorik menimbulkan takut (Garret, 2005; Feldman, 2003) dalam Sarwono (2012). Orang menjerit dan lari karena takut, bukan menjerit dulu baru merasa takut.
Teori Cannon ini pun masih belum dianggap baik, karena penelitian-penelitian berikutnya oleh para penganut aliran psikologi kognitif menemukan bahwa reaksi orang terhadap suatu rangsangan tertentu bisa berbeda-beda. Seorang ibu rumah tangga yang belum pernah melihat beruang, memang bisa menjerit ketakutan, jika secara tiba-tiba melihat seekor beruang dihalaman rumahnya. Seorang pelatih beruang akan bereaksi tenang saja, sama selaki tidak takut karena sudah terbiasa dengan binatang itu. Jadi, di sini ada faktor interpretasi terhadap rangsangan (bukan terhadap reaksi motorik) yang menyebabkan akan timbul emosi atau tidak.
Jelaslah bahwa menurut Psikologi Kognitif, emosi sangat tergantung pada pengalaman, dipelajari, dan empirik. Dalam praktik banyak ditemui suami yang tidak bergairah lagi dengan istrinya sendiri (walaupun sangat cantik) karena sudah beberapa tahun bergaul dengan istrinya terus (sudah terbiasa), sementara emosinya lebih terpacu ketika melihat pembantu rumahnya yang baru datang dari desa (sesuatu yang baru lebih memacu adrenalin).
Emosi yang kuat pada umumnya diikuti perubahan-perubahan pada tubuh, seperti:
1.    Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
2.    Peredaran darah: bertambah cepat bila marah
3.    Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
4.    Pernafasan: bernafas panjang kalau kecewa
5.    Pupil mata: membesar bila sakit atau marah
6.    Air liur: mongering kalau takut atau tegang
7.    Bulu roma: berdiri kalau takut
8.    Pencernaan: mencret- mencret kalau tegang
9.    Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor).
10.     Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah dalam keadaan emosional karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.
C.  Pengaruh Positif dan Negatif Emosi
1.    Pengaruh positif emosi
Dampak positif emosi ini sangat tergantung kepada pribadi dan pengalaman-pengalaman seseorang. Pengalaman akan banyak mempengaruhi perkembangan emosi baik yang bersifat memupuk, menghambat, dan mematikan. Semakain banyak pengalaman seseorang didasari oleh pengertian dan kemauan untuk mempelajari pengalaman-pengalaman yang dialami jelas akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tindakan-tindakan berikutnya, seorang atlet akan lebih mampu mengendalikan emosi dalam batas-batas yang diinginkan. Atlet juga akan dapat memanfaatkan dorongan emosi tanpa menggangu pelaksanaan suatu tindakan. Begitu pula dalam dunia olahraga, pengendalian emosi sangat menentukan dalam pencapaian prestasi. Dalam dunia olahraga cukup banyak rangsangan-rangsangan yang dapat memacu perkembangan emosi.
Syarat mutlak tergeraknya emosi adalah adanya rangsangan. Sedangkan rangsangan-rangsangan dapat menimbulkan emosi apabila rangsangan dapat menggerakkan dorongan-dorongan individu dan seberapa jauh efek rangsangan tersebut terhadap emosi sangat tergantung pada sifat dan tempramental serta keadaan individu itu sendiri, di samping juga bergantung pada keteraturan dan kekuatan rangsangan yang memacu emosi tersebut. Pengertian dan pengalaman terhadap situasi sesaat ikut menentukan pula.
Dalam kegiatan olahraga, pengalaman bertanding sangat menentukan bagi perkembangan emosi. Dengan bertanding para atlet selalu mendapat rangsangan-rangsangan emosi yang beraneka ragam, baik yang datang dari penonton, lawan bertanding ataupun wasit, dan sebagainya. Kadang rangsangan-rangsangan ini terlalu kuat bagi atlet yang lain. Dapat memunculkan pengaruh positif apabila rangsangan tersebut mampu merangsang emosi setinggi-tingginya tanpa menimbulkan gejala-gejala over stimulus, sehingga olahragawan tersebut dapat bertindak dengan semangat yang tinggi tanpa kehilangan pertimbangan pemikiran dan akalnya. Hal ini yang harus diusahakan oleh seorang pelatih meskipun sulit. Kepekaan emosi tidak sama, setiap atlet mempunyai kepekaan emosi yang berbeda-beda tergantung pada kekayaan pengalaman, pengertian, pengetahuan terhadap situasi sesaat dan masih banyak lagi hal-hal yang ikut mempengaruhinya.
Menurut Tenenbaum. G & Eklund. R. C (2007: 33) terdapat bukti secara empiris bahwa rangsang emosi yang muncul bersifat tidak menyenangkan seperti kecemasan, kemarahan, dan ketegangan dapat membantu kinerja atlet. Emosi yang menimbulkan rasa tidak senang dapat membantu menghasilkan lebih banyak energi dan mempertahankan kinerja olahragawan dalam pertandingan. Dengan munculnya emosi tersebut seorang atlet diharapkan dapat mengontrol energi yang digunakan selama pertandingan berlangsung, misalkan dalam situasi atau kondisi kelelahan yang ekstrim. Emosi ini jika disalurkan dengan baik dalam proses kinerja, secara subtansial dapat menunda kelelahan, mempertahankan kewaspadaan bertanding, dan tetap fokus dalam pertandingan. Dengan kata lain, emosi tidak menyenangkan yang muncul ketika pertandingan jika dimanfaatkan dengan baik oleh atlet juga dapat mengurangi stress saat pertandingan dan dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja olahragawan.
2.    Pengaruh negatif emosi
Dalam kondisi-kondisi tertentu suatu pertandingan atau perlombaan dalam olahraga seperti rasa lelah, ejekan penonton, angka lawan lebih unggul dan lainnya. Mungkin olahragawan akan mudah sekali menjadi tersinggung, marah-marah, kesal, dan tidak bisa berfikir lagi dengan tenang. Akhirnya tindakan-tindakan atlet didominasi oleh emosi kemarahan dibandingankan dengan pertimbangan-pertimbangan akal dan pikiran. Emosi yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh negatif  dalam olahraga antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Gelisah
Gelisah adalah gejala takut atau dapat pula dikatakan taraf takut yang ringan. Biasanya rasa gelisah ini terjadi pada saat-saat menjelang pertandingan akan dimulai. Rasa gelisah akan terjadi apabila seseorang itu belum mengalami apa yang akan dilakukan atau dapat pula terjadi oleh misalnya ketidak mampuan terhadap apa saja yang akan dikerjakan atau mungkin adanya rasa “sentiment”, kebingungan atau ketidak pastian. Rasa gelisah akan berubah menjadi menggembirakan manakala penyebab rasa gelisah  (pertandingan akan dimainkan) tertunda pelaksanaannya.
Bagaimana cara untuk menghindari atau mengurangi timbulnya kegelisahan?, cara yang baik adalah dengan jalan merasionalisasi emosi, yaitu segala hal yang negatif dianggap positif. Hal-hal demikian dapat dilatihkan, yaitu dengan membiasakan untuk:
1)        Merumuskan persoalan-persoalan yang sebenarnya merupakan sebab kegelisahan secara jelas.
2)        Memperhitungkan segala kemungkinan yang menjadi akibat paling ringan sampai pada yang paling berat atau paling jelek.
3)        Membuat persiapan untuk menghadapi setiap kemungkinan yang biasanya terjadi dengan segala rumus pemecahanya baik oleh diri sendiri maupun dengan orang lain.
4)        Menghadapi persoalan-persoalan dengan rasa siap dan tabah dan serta percaya pada kemampuan diri sendiri.
Dengan cara-cara tersebut di atas dapat diharapkan kegelisahan yang dialami atlet sedikit demi sedikit bisa dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan.
b.    Takut
Hampir semua orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang menentukan. Takut biasanya berakar pada pengalaman sebelumnya atau pada masa-masa lampau yang pengaruhnya pada tingkah laku dan kepribadian seseorang yang membekas sepanjang hidupnya. Takut banyak macamnya,  misalnya takut pada binatang, takut sendirian takut jika berada di depan orang banyak, takut akan timbulnya cidera dan sebagainya.
kegelisahan yang dialami oleh atlet dapat berubah menjadi ketakutan apabila tidak mendapat penyelesaian yang sebaik-baiknya. Rasa takut dapat memberi pengaruh yang negatif atau positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Dalam batas-batas yang masih normal rasa takut akan memberi pengaruh yang positif, karena dengan rasa takut tersebut seseorang akan lebih berhati-hati terhadap apa yang ditakutinya, misalnya saja atlet jadi lebih siap atau sebaiknya mungkin atlet lebih baik menghindar.
Rasa takut lebih baik jangan dihindari sama sekali, tetapi dikendalikan. Misalnya seorang atlet yang tidak memiliki ketakutan terhadap kekalahan dalam pertandingan yang akan diikuti. Atlet akan berbuat apa yang dikehendakinya, akhirnya atlet akan tersesat oleh perasaan “kalah ya biar”. Usaha yang kira-kira dirasa terlalu berat untuk meraih keunggulan nilai, cenderung untuk tidak dilaksanakan, karena dipandang terlalu menghabiskan tenaga di samping juga sikap berhati-hati juga menjadi berkurang. Konsentrasi menjadi buyar dan usaha-usaha untuk mencari kelemahan- kelemahan lawan tidak ada lagi.
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang anak yang sama sekali tidak takut jatuh dari pohon, maka sikap hati-hati waktu memanjat pohon akan berurang apabila dibandingkan dengan anak-anak yang takut jatuh. Begitu pula anak yang tidak takut jatuh dari sepeda motor, akan lebih berani dan terlalu berani sewaktu mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang kadang-kadang tidak memikirkan kemungkinan adanya kecelakaan yang dapat ditimbulkan akibat perbuatannya.
Rasa takut juga tidak boleh ditanamkan sehingga menyebabkan orang sama sekali tidak berani mengambil resiko, akhirnya orang tersebut terlalu berhati-hati, terlalu banyak perhitungan yang kadang-kadang yang tidak diperlukan. Akibatnya orang tersebut tidak pernah mau mencoba dan berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul.
Tindakan yang paling baik adalah apabila rasa takut dikendalikan, artinya tidak ditahan, tetapi juga tidak dihilangkan sama sekali. Hal ini memang sulit sampai seberapa jauh takut itu harus dikendalikan.
Dalam dunia olahraga rasa takut kalah di dalam batas-batas normal adalah baik, karena dengan demikian seorang atlet akan mempersiapkan diri untuk menghindari kekalahan. Melatih diri, berusaha mencari kelemahan-kelemahan lawan, penghematan tenaga atau penghematan penghamburan tenaga yang tidak perlu dan sebagainya. Sehingga sekali-sekali jangan mengartikan pengendalian rasa takut sama dengan menanamkan rasa takut.
Menurut beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh Reuben B. Frost dari Springfield College mengenai bagaimana seharusnya menangani masalah takut, antara lain diajukan beberapa pendapat sebagai berikut:
1)        Mencoba menemukan dan memahami sebab-sebab terjadi rasa takut.
2)         Mendekati dan mengenali situasi yang ditakuti sedikit demi sedikit.
3)        Mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang ditakuti dengan membuat perencanaan yang pasti dan taktik yang tepat guna.
4)        Menguji dan menganalisa alasan-alasan mengapa sampai terjadi ketakutan. Menolong mencarikan sebab-sebab timbulnya kesulitan-kesulitan yang ditakuti (adakah pengaruh kecelakaan yang dulu-dulu atau memang belum mengenal masalahnya).
5)        Menanamkan keakraban antara anggota group dan rasa saling percaya antara anggota (berdiskusi bersama-sama, menyanyi bersama).
6)        Memberikan sugesti bahwa orang-orang yang banyak pengalaman akan selalu memberikan pertolongan kepada yang muda-muda.
7)        Meningkatkan kekuatan dan ketrampilan (skill).
8)        Kerjakan sesuatu yang dapat menghilangkan rasa takut.
9)         Kebanyakan rasa takut akan lenyap pada waktu kegiatan-kegiatan yang ditakutkan itu telah mulai dilakukan.
c.    Marah
Marah adalah emosi yang sering timbul juga dalam dunia olahraga, dan marah ini pernyataannya selalu ditunjukan pada benda-benda atau orang-orang disekitarnya dalam bentuk yang bersifat agresif dan spontan.
Manifestasi marah bentuknya bermacam-macam bergantung pada taraf pendidikan, kebisaan, umur, dan sebagainya. Marah juga dapat menimbulkan tenaga yang luar biasa yang tidak mungkin dapat diperbuat oleh orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada saat tidak marah.
Marah juga termasuk emosi, maka seseorang yang sedang marah sudah jelas akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan akalnya sehingga orang yang sedang marah itu tidak mungkin lagi untuk mengerjakan hal-hal yang rumit yang membutuhkan ketelitian. Begitu pula dalam olahraga, terutama dalam pertandingan banyak sekali rangsangan yang memicu kemarahan atlet yang sedang bertanding, sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan bagi yang sedang marah itu menjadi lebih agresif, spontan, kurang perhitungan sehingga ketelitiannya juga berkurang. Karena ketelitiannya hanya menyalurkan kemarahan untuk hal-hal yang dapat mencelakakan atau merugikan lawan. Misalnya dalam bermain bola voli keinginannya juga hanya bermain keras saja artinya atlet ingin men-smash bola sekeras-kerasnya, syukur-syukur kalau tangan yang men-block itu cidera karena akibat dari kerasnya smash yang dilakukan, misalnya jari tangan lawan itu dapat terkilir atau sobek. Atlet tidak lagi ingin menempatkan bola kearah yang kosong. Makin gagal makin bertambah marahnya. Selama belum merasa puas dalam meyalurkan kemarahannya, selama itu pula tindakan-tindakannya atau usaha-usaha hanya akan lebih banyak dikendalikan emosi amarahnya dan jauh dari pertandingan akalnya.
Karena sifat marah memerlukan spontanitas dan ditunjukkan dalam bentuk-bentuk agresifitas, maka jalan paling baik adalah jika atlit-atlit tersebut dapat menghambat spontanitasnya dan mengurangi sikap agresifitas. Artinya menanggapi kemarahan itu dengan sikap-sikap yang baik dan positif. Apabila dalam olahraga yang ada time-out, lebih baik diambil time-out terlebih dahulu agar spontanitas kemarahan itu tertunda pelaksanaanya. Meskipun hanya beberapa detik, biasanya sudah cukup untuk mengurangi derajat kemarahannya. Kadang-kadang seseorang yang marah dapat mengatasi kemarahanya dengan cara mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali dengan menghitung sampai beberapa puluh atau menghadapi kemarahan itu dengan senyum untuk mengurangi kemarahan tersebut.
Dalam pertandingan kadang sukar untuk dapat menghilangkan sumber dari kemarahan, sebab dalam dunia olahraga kadang memancing kemarahan lawan adalah disengaja dengan harapan apabila lawan itu sudah tidak sadar lagi, akibatnya atlet ingin tetap main keras yang dapat mengakibatkan banyaknya energi yang harus dikeluarkan sehingga pada suatu saat atlet kehabisan tenaga dapat dengan mudah untuk dikalahkan. Hal seperti diatas harus disadari, dimengerti oleh atlet, jangan sampai atlet terkena pengaruh lawan untuk menjadi marah. Perlu diingat marah memang dapat menimbulkan tenaga yang luar biasa, tetapi jangan sampai mengakibatkan hilangnya pertimbangan akal dalam menyalurkan timbulnya tenaga tersebut.
Manfaat tenaga itu untuk usaha-usaha yang produktif. Untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan perlu dicari bagaimana jalan meredahkan kemarahan yang terjadi. Hal ini dapat diusahakan antara lain dengan cara:
1)   Menghambat spontanitas tindakan kemarahan.
2)   Mengurangi agresifitas tindakan kemarahan.
3)   Menanggapi kemarahan dengan tindakan-tindakan atau usaha yang positif.
4)   Melupakan atau menghilangkan sumber kemarahan.
Terdapat juga bukti bahwa emosi yang menyenangkan tidak selalu menguntungkan bagi penampilan atlet pada saat pertandingan, terutama dalam cabang olahraga yang membutuhkan tingkat konsentrasi tinggi, dan dengan waktu pertandingan yang relatif lama. Rasa puas yang berlebihan menyusul keberhasilan yang tidak terduga atau berulang dapat menimbulkan masalah khusus dalam pencapaian penampilan prestasi yang maksimal. Selain itu, kepercayaan diri yang terlalu tinggi kadang dapat menyebabkan menimbulkan rasa puas yang berlebihan dan akibatnya bertindak seperti meremehkan lawan, sehingga atlet kurang waspada, kurang fokus, atau kecerobohan dan terlalu banyak mengambil resiko. Situasi ini pada gilirannya dapat dapat menimbulkan efek yang merugikan pada penampilan atlet, dan sering minimbulkan cedera yang tak terduga (Devonport, Lane, & Hanin, 2005; Wurth & Hanin, 2005).

D.      Emosi sebagai suatu respon
Definisi emosi menurut Deci (1980) menyatakan bahwa emosi adalah reaksi terhadap rangsangan, yang dapat menjadi nyata atau dibayangkan. Misalnya seorang atlet rugby akan merasa senang apabila dapat mencetak angka, selanjutnya akan merasa kecewa karena telah gagal dalam menangkap bola, merasa takut karena berhadapan dengan lawan yang lebih kuat. Beberapa rangsangan dapat menimbulkan reaksi emosional pada seorang individu, dari rangsangan lingkungan (stimulus visual) terhadap rangsangan internal (negative self-talk, dan meningkatnya denyut jantung). Konsep emosi sebagai respon berbeda dengan suasana hati (mood). Dalam istilah filsafat emosi harus tentang sesuatu. Suasana hati dianggap lebih lama durasinya dari pada emosi (Ekman, 1994) dalam Tenenbaum. G & Eklund. R. C (2007).
E.       Peranan kognitif terhadap emosi
Meskipun beberapa ahli telah berpendapat bahwa respon emosional tidak selalu membutuhkan proses kognitif (Zajonc, 1984a, 1984b), untuk beberapa orang peran kognisi sangatlah penting karena apabila suatu reaksi tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan atau stimulus dianggap tidak memiliki makna atau relevansi. Clore (1994) mengatakan, ketika seseorang merasa senang tentang sesuatu, merasa sedih karena sesuatu, atau takut sesuatu, harus ada proses kognitif yang menentukan relevansi dari suatu peristiwa atau obyek yang menghasilkan respon emosional. Hal tersebut tidak untuk mengatakan bahwa seseorang individu selalu menyadari mengapa mereka telah mengalami emosi, karena proses ini terjadi secara sadar (Lazarus, 1991).
Satu teori yang menekankan pentingnya peran kognitif dalam proses emosi yang muncul sangat tepat untuk menciptakan kerangka kerja yang menjadi dasar strategi pengendalian emosi, Lazarus (1991).
Menurut Lazarus (1991) hal terpenting yang harus dimengerti saat memahami proses terjadinya emosi adalah dengan menyadari hubungan individu dengan lingkungannya. Aktivitas kognisi adalah hal yang menjembatani hubungan antara individu dengan lingkungannya. Aktivitas kognisi menurut Lazarus, yaitu knowledge dan appraisal (Lazarus & Smith, 1988 dalam Lazarus, 1991).
Knowledge adalah memahami bagaimana sesuatu peristiwa terjadi, baik secara umum maupun dalam konteks spesifik, sedangkan appraisal atau penilaian terdiri dari evaluasi yang terus menerus mengenai signifikansi (makna) dari apa yang terjadi bagi kesejahteraan diri individu (Lazarus, 1991). Menurut Lazarus (Wortman, Loftus, & Weave, 2001) penilaian kognitif terkait dengan kebutuhan, keinginan dan sumber-sumber yang individu miliki dalam hubungannya dengan peristiwa atau situasi tersebut. Penilaian secara kognitif ini dapat disebut juga sebagai pemaknaan personal sebuah peristiwa bagi individu.
Setelah appraisal terjadi, kemudian akan timbul berbagai macam emosi pada diri individu, sebagai akibat dari penilaian individu terhadap situasi tersebut, jadi, tanpa makna personal, knowledge bersifat ‘dingin’ nonemotional. Saat knowledge menyentuh kesejahteraan personal, knowledge menjadi ‘panas’ atau emosional (Abelson, 1963), Folkman, Schaefer, & Lazarus, 1979, dalam Lazarus, 1991). Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa emosi timbul dari hasil penilaian kognitif individu terhadap sebuah situasi yang dinilai mempengaruhi kesejahteraan personal individu. Oleh karena itu, sebuah situasi yang sama atau mirip dapat menimbulkan emosi-emosi yang berbeda bagi tiap individu, tergantung dari penilaian kognitif masing-masing individu.
Terdapat dua tahap cognitive appraisal (penilaian kognitif) menurut Lazarus (1991):
1.         Primary appraisal: menitikberatkan pada pertanyaan apakah informasi atau peristiwa yang dialami individu berhubungan dengan kesejahteraan individu.
2.         Secondary appraisal: berhubungan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan coping, yaitu apakah perlu dilakukan aksi untuk mencegah bahaya (harm), memperbaikinya, atau menambah kerugian atau keuntungan yang telah dialami individu.
F.       Karakteristik dari respon emosional
1.         Physiological changes (perubahan fisiologis)
Ada sejumlah perubahan fisiologis yang merupakan bagian dari respons emosional. Sebagai contoh, seorang individu yang malu memungkinkan mukanya akan memerah, sementara individu yang sedang merasa takut akan terlihat pucat, prubahan fisiologis yang lain yang terjadi selama reaksi emosional dapat dideteksi melalui tindakan biokimia (Frankenhaeuser & Rissler, 1970). Perubahan fisik dalam ekspresi wajah juga bisa terjadi, misalkan cemberut, tersenyum dan lainnya dianggap menjadi penting dalam proses emosi, meskipun besarnya peran ini tidak jelas.
Peran physiological arousal juga relevan dengan pengalaman emosi dalam pengaturan olahraga. Peningkatan kegairahan (arousal) dapat menemani beberapa emosi (misalnya, kecemasan, kegembiraan), dan penurunan gairah dapat menyertai emosi lainnya (misalnya, kekecewaan, kesedihan), sementara beberapa emosi bisa disertai dengan sedikit atau tidak ada perubahan dalam tingkat gairah (misalnya, rasa bersalah). Tingkat gairah mungkin bermain di beberapa intensitas emosi. Zillmann’s excitation transfer theory (1971) berpendapat bahwa aktivitas simpatis tidak berhenti tiba-tiba, tetapi menghilang secara perlahan-lahan, sisa gairah yang bergabung dengan gairah yang dihasilkan dari situasi berikutnya dapat meningkatkan intensitas pengalaman emosional (Zillmann, 1971; Zillmann, Katcher, Milavsky, 1972).
2.         subjective experience (pengalaman subyektif)
Vallerand dan Blanchard (2000) menunjukkan bahwa pengalaman subjektif mengacu pada “apa seseorang individu secara sadar mengalami selama episode emosional “sebagai contoh, seorang atlet rugby yang gagal menangkap bola pada saat permainan berlangsung, sehingga timbul perasaan marah pada dirinya yang mengakibatkan timnya kalah. Ini adalah pengalaman subjektif yang biasanya didapat dalam olahraga.
3.         Action tendencies (kecenderungan tindakan)
Salah satu komponen emosi adalah adanya kecenderungan untuk bertindak. Bahkan dalam banyak kasus, emosi diikuti langsung oleh tindakan. Kecenderungan bertindak atau perwujudan tindakan setelah emosi, dalam hal ini dianggap sebagai rangkaian emosi-motivasi.
G.      Pengaruh emosi terhadap kinerja olahraga
Banyak penelitian menunjukan bahwa berbagai emosi berhubungan dengan perubahan tingkat kinerja, secara umum, bahwa keadaan emosi seseorang bisa mempengaruhi motivasi bersama dengan fungsi baik fisik maupun kognitif.

1.         Pengaruh emosi terhadap motivasi
Vallerand dan Blanchard (2000) menunjukkan bahwa banyak teori menganggap emosi melayani fungsi adaptational yang dapat memberikan energi untuk melakukan tindakan berikutnya dengan memastikan kondisi fisik dan mental yang kuat untuk menjalankan tugas. Beberapa jenis emosi bisa memiliki efek yang baik tergantung pada individu tertentu dan situasi. Sebagai contoh perasaan bersalah tentang seorang atlet basket yang berusaha menjauh dari bola dalam pertandingan untuk menghindari salah, tetapi terdapat atlet yang berusaha untuk memperoleh kembali bola dalam suatu pertandingan untuk meningkatkan kinerja dan mengatasi perasaan bersalahnya.
2.         Pengaruh emosi terhadap fungsi fisik
Seperti disebutkan sebelumnya, perubahan gairah dapat terjadi bersamaan dengan perasaan emosi, perubahan gairah dapat mempengaruhi fungsi fisik, bahwa individu dalam keadaan gairah tinggi belum tentu mengalami emosi, dan individu dapat mengalami emosi tanpa harus mengubah tingkat gairah atlet. Banyak atlet mengatakan bahwa gairah pada tingkat tinggi dapat membantu atlet dalam penampilan di pertandingan. Sebagai contoh, atlet gulat olimpiade mencapai tingkat gairah hingga 70% sebelum kompetisi digelar dapat meningkatkan daya anaerob. Namun, itu bisa mengakibatkan efek negatif terhadap tugas-tugas yang membutuhkan motorik halus seperti mengalami peningkatan ketegangan otot, menurunnya koordinasi dan menurunnya control tubuh (Parfitt et al., 1990).
3.         Pengaruh emosi terhadap fungsi kognitif
Fungsi kognitif dipengaruhi baik oleh perubahan gairah yang menyertai beberapa emosi dan oleh perubahan kognitif itu sendiri. Parfitt et al. (1990) menyatakan bahwa gairah yang terlalu tinggi dapat merusak memori kerja dan memiliki efek jangka panjang tergantung pada jenis kerja (meningkat untuk tugas-tugas yang mudah, tapi mungkin terganggu untuk tugas yang sulit).
Selain itu, peningkatan arousal yang disertai kecemasan (somatic anxiety) telah terbukti memiliki efek positif pada kecepatan (Jones & Cole), 1989). Selain itu, arousal yang terlalu tinggi mengakibatkan fokus perhatian menjadi sempit dibandingkan dengan tingkat kegairahan yang rendah (Easterbrook, 1959). Sebagai contoh, ketika seseorang yang mengalami kecemasan yang tinggi maka pusat perhatiannya hanya terfokus kepada sesuatu yang dapat menimbulkan ancaman bagi dirinya. Hal ini digambarkan oleh seorang penyerang sepakbola yang terfokus kepada pemain bertahan yang menjaga pergerakannya karena merasa takut untuk di cederai oleh pemain bertahan, sehingga fokus perhatiannya tidak kepada teman yang menguasai bola dan berusaha untuk bergerak mencari ruang. Meskipun peningkatan gairah dapat menyebabkan penyempitan fokus perhatian dilapangan, kognitif yang menyertai respon emosional juga dapat mempengaruhi fokus perhatian juga. Kecemasan juga mengakibatkan pengurangan fungsi kognitif untuk melakukan gerakan dalam olahraga, kemampuan kognitif juga berkurang sebagai akibat dari emosi yang lain. Sebagai contoh, ketika pemain tenis melakukan servis dan mengalami kegagalan, selanjutnya timbul perasaan emosi (marah) yang mengakibatkan pemain tidak langsung menyiapkan perhatiannya untuk permainan berikutnya akan tetapi hanya terdiam dan menyesali kegagalannya.
 Eysenk & Calvo (1992) menyatakan bahwa keadaan emosi juga dapat memiliki efek positif terhadap peningkatan perhatian. Dalam situasi tertentu, kekhawatiran mungkin meningkatkan kinerja dan meningkatkan konsentrasi, karena seorang individu yang khawatir tentang sesuatu dapat mengalokasikan sumber daya mental tambahan yang dapat meningkatkan kinerja.
Hanin (2000) menyatakan bahwa apabila emosi dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kinerja dapat menjadikan lebih efisien penggunaan sumber energi yang dibutuhkan selama pertandingan.
H.      Pengendalian Emosi dalam Olahraga
Emosi yang dialami atlet sangat mempengaruhi kinerja sebelum dan selama kinerja olahraga (Hanin, 2010). Respon emosi yang tepat sangat bermanfaat bagi atlet, misalnya, dapat meningkatkan kinerja gerak, meningkatkan kualitas interaksi dengan rekan tim, mengurangi resiko tindakan kurang disiplin, dan mengurangi resiko cidera. Oleh karena itu regulasi emosi/pengendalian emosi dianggap penting oleh psikolog olahraga sebagai ketrampilan psikologis yang penting (Andy, L, 2011) http://www.bases.org.uk/Emotion-Regulation-in-Sport.
Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana atlet mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan. Pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi olahragawan asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat membuat atlet marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para atlet asuhannya, yang tentu saja akan berbeda antara olahragawan yang satu dengan olahragawan lainnya.
Gejolak emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga olahragawan tidak dapat tampil maksimal. Seringkali seorang olahragawan mengalami ketegangan yang memuncak hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan tersebut sampai olahragawan tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat dibayangkan olahragawan tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa.
Emosi memainkan peran sentral dalam kinerja olahraga. Oleh Karena itu, beruntung bagi atlet yang dapat menggunakan regulasi strategi untuk meningkatkan pengendalian emosi. Berikut ini adalah strategi yang bertujuan untuk mengontrol emosi dalam kinerja olahraga berdasarkan Lazarus “cognitive-motivational-relational theory of emotion” adapun teknik tersebut terdiri dari: Self-Statement Modification, Imagery, Socratic Dialogue, Corrective Experiences, Vicarious Learning: The Modeling Effect, Self-Analysis, Didactic Approach, Storytelling, Metaphors, and Poetry, Reframing, Teaching Problem-Solving Skills.
1.    Self-Statement Modification
            Self-Statement Modification (SSM). SSM berawal dari asumsi bahwa orang yang mengalami kecemasan umumnya melakukan dialog pada diri sendiri (self-talk) seperti “saya buruk”, “saya tidak mampu”. SSM dapat dipraktikkan dimulai dengan positive self-talk (”saya tetap fit dan sehat”), kemudian mengeliminasi pemikiran negatif dan mengkontrol emosi kognitif (”saya tidak perlu khawatir”). Atlet juga dapat menggunakan dukungan sosial dengan mencoba mendiskusikan dengan orang yang sudah berpengalaman misalnya pelatih, rekan satu tim, atau orang tua sehingga atlet termotivasi untuk lebih percaya diri.
2.    Imagery
                 Imagery sering disebut dengan guided imagery, visualization, latihan mental, atau self hypnosis. Imagery adalah teknik yang biasa digunakan oleh psikolog olahraga untuk membantu seseorang memvisualisasikan atau melatih mental berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan. Dalam konteks olahraga, imagery digunakan untuk membantu atlet membuat visualisasi yang lebih nyata berkaitan dengan pertandingan atau kompetisi yang akan dijalaninya.
                 Imagery membantu atlet untuk menciptakan gambaran yang riil berkaitan dengan kesulitan dan masalah-masalah yang mungkin akan dihadapi oleh para atlet selama pertandingan. Seperti diketahui, atlet seringkali membuat gambaran yang tidak nyata baik tentang dirinya maupun tentang lawan yang akan dihadapi. Menganggap lawan lebih superior, kemampuan teknisnya masih rendah atau lingkungan pertandingan yang menekan seringkali muncul di benak para atlet ketika menyiapkan diri untuk sebuah pertandingan.
                 Efeknya, seringkali atlet merasa rendah diri dan akhirnya merasa cemas yang berlebihan. Jika berlanjut terus menerus, maka kecemasan tersebut akan mengganggu performa atlet tersebut. Kecemasan yang muncul sebelum bertanding akan mengurangi konsentrasi dan membuat penampilannya menurun.
                 Pada penelitian terakhir, tentang imagery, dihasilkan bahwa imagery tidak hanya dapat meningkatkan arousal dan meningkatkan keadaan fisik yang lebih baik, tetapi juga dapat menjaga ketenangan dalam kompetisi (Munroe, Giacobbi, Hall, & Weinberg, 2000). Latihan imagery yang berfokus pada perasaan seperti relaksaki, stress, gairah, dan kecemasan dalam hubungannya dengan olahraga kompetisi bisa menjadi strategi yang efektif untuk pengendalian emosi.
                 Imagery juga dapat digunakan untuk menghasilkan keadaan emosional yang positif (misalnya, mengingat kesuksesan yang pernah dialami masa lalu yang dapat menyebabkan kebahagiaan dan kegembiraan) sehingga atlet akan lebih percaya diri dalam penampilannya. Selain itu imagery juga dapat menghapus stimulus yang menghasilkan emosi negatif (misalnya, gambaran pelaksanaan teknik yang benar dan menggantikan pelaksanaan teknik yang salah). Imagery juga dapat meningkatkan penampilan dalam situasi-situasi yang menantang.
3.    Socratic Dialogue
                 Strategi ini mengacu kepada proses berpikir atlet dimana atlet diminta untuk mengevaluasi atau menilai hal-hal yang pernah dilakukan pada saat pertandingan terhadap tindakan yang merugikan diri sendiri maupun tim, kesalahan presepsi, dan self- discovery. Sebagai contoh, sebuah tindak atlet sepakbola yang melakukan protes kepada wasit tentang keputusan yang telah diambil, yang mengakibatkan kerugian bagi tim yang dibela, namun protes yang dilakukan tidak akan merubah keputusan wasit tersebut, dan dengan tindakan yang dilakukan oleh atlet tersebut dapat mengakibatkan munculnya emosi yang negatif pada diri altet (misalnya, marah, kecewa). Dengan strategi socratic dialogue diharapkan atlet dapat berpikir bahwa tindakannya merupakan hal yang sia-sia untuk dilakukan dan dapat menimbulkan kerugian terhadap atlet (Danang, 2012) http://id.prmob.net/emosi/pengalaman/nyeri-1582702.html.
4.    Corrective Experiences
                 Disini seorang individu membuat keputusan sadar untuk terlibat dan melakukan perilaku hal yang menjadi perhatian. Sebuah contoh seorang pendaki gunung yang ditunjuk sebagai pemimpin pendakian sehingga timbul rasa cemas pada dirinya, tetapi setelah melalui masa persiapan dan latihan mental pendakian agar pendakiannya sukses dan dukungan dari orang lain sehingga dari hal itu dapat menempatkan pendaki tersebut sebagai pemimpin yang memiliki mental yang kuat untuk memimpin pendakian dan dapat mendaki dengan sukses. Dengan menggunakan teknik ini, Secara dramatis akan mengurangi kekuatan emosi negatif yang melekat pada pengalaman. Dengan memperbaharui pengalaman tanpa emosi negatif, akan memecah siklus negatif ke bawah di mana begitu banyak orang menemukan seseorang terjebak. Tujuannya adalah untuk hanya kembali ke pengalaman dalam sebuah cahaya baru, salah satu yang tidak diisi dengan emosi negatif. Proses ini dapat digunakan berulang kali sampai emosi negatif dan menyakitkan telah secara signifikan berkurang.
                 Setelah mencapai kebebasan dari masa lalu, langkah berikutnya adalah untuk mulai bergerak maju dengan rencana optimis dan positif untuk masa depan. Terus mendorong masa lalu lanjut ke kejauhan, dan kemudian mengganti semua yang akan fokus yang kuat pada masa depan yang positif. Dengan emosi negatif dari masa lalu telah mendorong jauh, sekarang dapat mengganti masa lalu dengan mimpi masa depan. Kuncinya adalah fokus pada mimpi-mimpi baru dan positif dan rencana. Mengembangkan mimpi baru dan mulai bekerja untuk membuat mereka menjadi kenyataan.
5.    Vicarious Learning: The Modeling Effect
                 Mandala, A. (2011) secara umum, teori modeling atau social learning merupakan salah satu teori yang menjelaskan pentingnya keteladanan dalam perkembangan kepribadian seseorang. Pembentukan karakter yang baik memerlukan adanya teladan atau contoh yang baik pula. Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan). Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi yang tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya.
                 Sebagai contoh dari metode ini adalah seorang atlet tenis yang tadinya sering melakukan kesalahan dalam melakukan teknik pukulan yang diakibatkan kurang tenang atau di intervensi oleh perasaan emosi dalam melakukannya diharapkan dapat meniru respon atau teknik pukulan yang digunakan oleh seorang atlet tenis yang dapat melakukan teknik dengan baik dan lebih tenang. Modeling juga dapat dilakukan oleh pelatih atau psikolog olahraga yang mungkin pernah mengalami hal yang sama dengan yang dilakukan atletnya saat ini.
                 Contoh dari situasi lain adalah ketika seorang atlet melihat pemain-pemain dunia dalam menghadapi panggilan wasit terhadap peringatan yang diberikan kepadanya, di sana seorang atlet bisa belajar mengenai tingkah laku dan sikap yang dilakukan atas tindakan pemanggilan oleh wasit tersebut, yang sebisa mungkin menimbulkan emosi (marah) pada saat pertandingan berlangsung. Dengan demikian strategi atau metode coping dapat diterapkan dalam sesi latihan dengan permainan peran seorang pelatih yang menjadi wasit untuk menciptakan situasi tersebut dan melihat respon yang dilakukan oleh atlet terhadap situasi tekanan yang dialami oleh atlet. Dengan demikian diharapkan dapat melatih atlet dalam menghadapi situasi yang mirip dengan kejadian yang akan dialami didalam pertandingan yang sesungguhnya.
6.    Self-Analysis
                 Atlet dapat menyimpan catatan tertulis di mana atlet merekam dan memonitor reaksi emosional atlet dalam setiap pertandingan. Dari cara ini diharapkan akan muncul peningkatan kesadaran terhadap reaksi emosi yang dilakukan dan akibat yang dihasilkan dari reaksi emosional pada pertandingan sebelumnya. Dijelaskan juga bahwa reaksi kesadaran kemarahan dapat lebih efektif dalam mengurangi perilaku marah.
7.    Didactic Approach (pendekatan Didactic)
                 Raflen A. Gerungan (2011) didaktik berasal dari bahasa Yunani “didoskein”, yang berarti pengajaran atau “didaktos” yang berarti pandai mengajar. Di Indonesia didaktik berarti ilmu mengajar. Karena didaktik berarti ilmu mengajar, maka pengertian didaktik menyangkut pengertian yang sangat luas. Dalam kaitan pembicaraan tentang didaktik, pengertian didaktik akan difokuskan pada bagaimana perlakuan guru dalam proses belajar mengajar tersebut. Mengajar menurut pengertian modern Secara umum pengertian didaktik adalah suatu cara yang dalam fungsinya  merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini  berlaku bagi guru, pelatih maupun siswa, semakin baik didaktik,  semakin efektif pencapaian tujuan, (file.upi.edu/.../perbaikan_dmp_renang.pdf).
                 Dalam hal ini atlet dibekali pengetahuan tentang permasalah psikologis yang atlet alami setiap pertandingan yang dihadapi. Hal ini hampir mirip dengan self-analisis, tujuan dari metode ini adalah mengharapkan peningkatan kesadaran dalam situasi di mana emosi-emosi itu muncul, sehingga dengan peningkatan kesadaran tersebut diharapkan atlet dapat melakukan tindakan yang epat untuk lepas dari permasalahan psikologis yang dialami. Sebagai contoh, seorang atlet yang mengalami kecemasan tinggi sebelum kompetisi dibekali pengetahuan tentang akibat atau dampak (positif dan negatif) terhadap kinerja atlet.
                 Petitpas (2000) pernah melakukan hal ini kepada atlet wanita elit. Diketahui bahwa atlet tersebut mengalami kecemasan dalam kompetisi. Dalam rangka menormalkan reaksi dari kecemasan tersebut atlet tersebut memberikan pengertian bahwa kecemasan tidak hanya dialami oleh dia saja, sehingga atlet tersebut dapat mengubah penilaian utama tentang hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada atlet dalam penampilannya. Misalnya, “kecemasan adalah reaksi yang normal dalam setiap kompetisi sehingga atlet diharapkan tetap memiliki fokus tinggi dalam bertanding”. Dalam hal ini juga dapat digunakan cara dengan memberikan solusi kepada atlet tentang menangani kecemasan yang dialami. Sebagai contoh, “atlet bisa memanfaatkan teknik pernafasan yang telah dilakukan didalam latihan untuk mengurang rasa cemas yang dialami”.
8.    Storytelling, Metaphors, and Poetry
                 Serupa dengan pendekatan didaktik, pelatih atau psikolog dapat menggunakan teknik-teknik sastra untuk mendorong atlet untuk mempertimbangkan cara-cara alternative dalam dalam melihat dan berurusan dengan situasi pertandingan yang menimbulkan emosi. Contohnya mungkin pelatih menggunakan kutipan atau cerita dari para bintang olahraga masa lalu untuk menggambarkan bagaimana atlet mencapai keadaan emosional yang optimal untuk dapat dimanfaatkan dalam pertandingan atau mengatasi tekanan dalam kompetisi.
9.    Reframing
                 Reframing adalah suatu proses untuk merubah isi, atau menata ulang sebuah pengalaman, atau interpretasi sehingga pengalaman tersebut mendapatkan arti yang berbeda dari sebelumnya.
     Terdapat dua bentuk reframing. yaitu reframing Content dan reframing context
a.         Reframing Content
Reframing Content adalah adalah pemberian suatu pandangan baru (berbeda) sehingga sebuah peristiwa dapat memiliki nilai atau makna yang baru. Contoh : "Saya selalu gagal dalam usaha mencetak gol yang saya lakukan". Reframing content : "Kamu tidak gagal, tapi kamu dalam proses menuju kesuksesan mencetak gol".
b.         Reframing Context
Reframing Context adalah pemberian suatu pandangan baru dimana dalam waktu dan kondisi yang berbeda, sebuah peristiwa yang sama dapat memiliki makna yang baru. Contoh: "Sudah 3 kali usaha tembakan yang saya lakukan dalam usaha mencetak gol". Reframing context: "itu artinya diusaha  ke 4 kamu akan berhasil melakukannya".
            Tujuan teknik reframing adalah memberdayakan (empowering) orang yang memiliki pengalaman tersebut agar memiliki lebih banyak pilihan respon atas pengalamannya, sehingga orang ini memiliki kekuatan untuk menuju arah atau tujuan yang diinginkannya (Fitra, 2008) (http: //fitra2008. Anugrah.com/2009/02/03/self-empowering-3-reframing-pemaknaan-yang memberdayakan-atas-pengalaman/). Selain itu ada tujuan lain dari teknik reframing, yaitu : (a). Punya perspektif yang berbeda (b).  Punya pilihan tindakan lain (c). Lebih membesarkan hati (d). Positive thinking (e). Terlepas dari keterikatan makna.
10.    Teaching Problem-Solving Skills
                 Belajar menerapkan keterampilan pemecahan masalah, lebih diitekankan untuk mengembangkan berpikir kritis dan melaksanakan proses penemuan untuk mencari jalan pemecahan masalah. Dengan keterampilan pemecahan masalah, dapat membantu atlet untuk belajar bermacam-macam pemecahan masalah, transformasi pengetahuan, membantu atlet untuk belajar bagaimana mengerjakan berbagai tugas dalam belajar.
                 Kemampuan memecahkan masalah sangat pengting hubungannya dengan situasi antar pribadi (interpersonal). Pemecahan masalah ini antar pribadi membutuhkan kemampuan khusus agar menghasilkan berbagai alternative respon kepada individu lain yang dihadapi, sebagai contoh seorang kapten sepakbola yang lebih muda usianya dari sebagian rekan satu timnya yang lebih senior suatu saat menghadapi kondisi dimana harus memberi tahu rekan satu tim yang lebih senior agar meningkatkan kinerjanya dalam penampilannya, seorang kapten harus dapat menyusun kalimat dengan cara yang positif, seperti “kamu bekerja sangat baik, hanya saja cobalah untuk meningkatkan intensitas lebih baik sampai akhir pertandingan”. Agar tidak timbul respon yang negatif. Dengan demikian seorang pelatih atau psikolog olahraga harus dapat memberikan ketrampilan tersebut kepada atletnya. Ketika suatu saat atlet menemui sebuah permasalah dalam penampilannya yang berhubungan dengan masalah interpersonal dapat menghadapi masalah dengan baik. Sebagai contoh: memberi tahu kapten untuk tidak mengatakan hal yang dapat menimbulkan emosi yang negatif, missal mencaci rekan yang mengakibatkan rekan tim menjadi marah.



















BAB III
KESIMPULAN
Olahraga memunculkan perilaku, dan ilmu yang mempelajari perilaku di sebut dengan psikologi. Maka dari itu olahraga merupakan satu bidang yang tidak terlepas dari kajian psikologi. Berbagai aspek psikologi berpengaruh dalam perilaku berolahraga, maka dari itu kajian psikologi olahraga itu sendiri bermanfaat untuk dapat mencapai optimalisasi dalam berolahraga, baik dari individu itu sendiri, peregu, dari pelatih, efek penonton dan hal lain sebagainya. Salah satu dari kajian psikologi olahraga yang harus dimengerti oleh setiap pelatih adalah adanya faktor emosi yang mempengaruhi penampilan olahragawan dalam olahraga.
Faktor-faktor emosi dalam diri olahragawan menyangkut sikap dan perasaan olahragawan secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana olahragawan mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan. Pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi olahragawan asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat membuat olahragawannya marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para olahragawan asuhannya, yang tentu saja akan berbeda antara olahragawan yang satu dengan olahragawan lainnya.
Gejolak emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga olahragawan tidak dapat tampil maksimal. Seringkali seorang olahragawan mengalami ketegangan yang memuncak hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan tersebut sampai olahragawan tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat dibayangkan olahragawan tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan atlet tidak tahu harus berbuat apa.
Sehingga dari penjelasan di atas seorang pelatih wajib menguasai ilmu psikologi, khususnya psikologi olahraga agar hal-hal yang dapat menghambat prestasi olahragawan dari segi psikologi/kejiwaan olahragawan dapat diidentifikasi dan meminimalisir terjadinya permasalah yang berhubungan dengan psikologi olahragawan.
Pentingnya memasukan program latihan mental (mental training) dalam sesi latihan juga merupakan hal yang perlu dipahami oleh setiap pelatih, sehingga dengan pengalaman emosi yang diciptakan pelatih pada saat latihan dapat dimanfaatkan oleh setiap olahragawan agar dalam menghadapi pertandingan yang sesungguhnya olahragawan dapat mengendalikan emosinya sehingga tidak menimbulkan kerugian yang mengakibatkan menurunnya prestasi olahragawan.













 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar